Kangasti ID
Berkunjung ke Dusun Tahunan, Menyusuri Jejak Sejarah Kampung Pande Besi

Berkunjung ke Dusun Tahunan, Menyusuri Jejak Sejarah Kampung Pande Besi

Mas Kamun saat memperlihatkan kepada saya wangun atau model arit khas Dusun Tahunan di Grobogan Expo 2023 saat saya berkunjung ke standnya pada Kamis (24/8/2023). (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)

Kangasti.id – Grobogan kaya cerita sejarah dan budaya. Kisah-kisah lampau dan kekayaan warisan budaya mewarnai detak kehidupan masyarakatnya. Salah satunya adalah potret budaya di Dusun Tahunan, Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan. 

 

Potret budaya Dusun Tahunan menjadi menarik untuk ditelisik, terutama terkait julukan sebagai “Kampung Pande Besi”. Betapa tidak, di kampung ini, ada lebih dari 300 warganya yang berprofesi sebagai pande besi. 

 

Kemahiran menempa besi menjadi alat-alat dapur dan pertanian seperti pisau, arit, berang, bendo, cangkul, dan lainnya, merupakan warisan kebudayaan dari leluhur mereka, yang diwariskan dari generasi ke generasi, sejak ratusan tahun lampau.

 

Warisan kebudayaan itu semakin kukuh dengan jejak tokoh masa lalu yang mewarnai sejarah desa. Adalah Pangeran Penatas Angin dan Empu Supo, dua sosok historis yang selalu disebut ketika membincang history Dusun Tahunan berikut kemahiran warganya dalam menempa besi. 

 

Siapakah gerangan Pangeran Penatas Angin dan Empu Supo?

 

Bangsawan dari Kerajaan Goa

Berbincang santai dengan Kepala Desa Putatsari, Marno (berkaos merah) dan Mas Saiful Anam (berbaju hitam) terkait sejarah Dusun Tahunan dan visi pengembangan desa wisata. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)

Saat berkunjung ke Dusun Tahunan pada Jumat (25/8/2023) lalu, oleh Akhmad Turkhamun (33) atau saya biasa menyapanya Mas Kamun—pande besi muda dari Dusun Tahunan yang saya kenal karena keaktifannya di event-event UMKM Kabupaten Grobogan, saya dipertemukan dengan Saiful Anam (40)—kiai muda Dusun Tahunan.

 

Dari kiai muda itu, saya mendapatkan cerita tentang sosok Pangeran Penatas Angin. Sesuai penuturan Mas Saiful—begitu kemudian saya menyapanya—Pangeran Penatas Angin adalah bangsawan dari Kerajaan Gowa di Makassar. 

 

Nama aslinya Daeng Mangemba Nattisoang. Dijuluki “Pangeran Penatas Angin” karena kemampuan navigasinya yang hebat, sehingga mampu "menyelamatkan" setiap kapal yang ditumpanginya saat diterjang badai di tengah lautan.

 

Suatu saat, Pangeran Penatas Angin memutuskan hijrah ke Demak untuk berguru kepada Sunan Kalijaga. Setelah mampu melewati “ujian” dari Sunan Kalijaga, Pangeran Penatas Angin pun akhirnya diterima menjadi murid Sunan Kalijaga. Ia kemudian mengabdi di Kesultanan Demak.

Berfoto dengan Mas Saiful Anam dan Mas Taufiq Kurniawan--putra Kelapa Desa Putatsari, usai berziarah di Makam Syekh Maulana Penatas Angin di Kompleks Pemakaman Gedong Dusun Tahunan. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)

Bertahun kemudian, saat kemelut perebutan takhta Kesultanan Demak, Pangeran Penatas Angin memilih uzlah ke sebuah tempat yang kelak disebut “Dusun Tahunan”. Nama “Tahunan” konon berasal dari waktu uzlah Pangeran Penatas Angin yang hingga bertahun-tahun lamanya. 

 

Menurut Mas Saiful, Pangeran Penatas Angin berada di Tahunan hingga akhir hayatnya selama kurang lebih 17 tahun. Pangeran Penatas Angin wafat pada usia 90 tahun dan salah satu versi menyebutkan, makam Pangeran Penatas Angin berada di Kompleks Pemakaman Gedong di Dusun Tahunan, Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan.

 

Empu Supo dan Kemahiran Menempa Besi

 

Selain Pangeran Penatas Angin, sosok lain yang selalu disebut saat membincang Dusun Tahunan, terutama terkait dengan kemahiran warganya membuat alat-alat dapur dan pertanian, adalah sosok historis bernama Empu Supo.

 

Empu Supo adalah murid sekaligus adik ipar Sunan Kalijaga, karena dalam riwayat, Empu Supo disebutkan menikah dengan Dewi Roso Wulan—adik kandung Sunan Kalijaga. Dalam buku-buku sejarah disebutkan, Empu Supo masyhur sebagai seorang empu yang mahir membuat keris pusaka.

Paron dan palu yang diyakini milik Empu Supo yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi, yang saat ini disimpan oleh Mbah Wargono. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)

Sayangnya, jejak Empu Supo di Dusun Tahunan tak bisa dieksplor lebih dalam. Mas Saiful sendiri, sejauh ini belum bisa menceritakan lebih detail terkait jejak Empu Supo di Dusun Tahunan. Apalagi bila dikaitkan dengan kelindan waktu saat Pangeran Penatas Angin berada di Dusun Tahunan. 

 

Namun, cerita tutur turun-temurun, menyebutkan bahwa sosok Empu Supo hampir selalu dikaitkan dengan warisan kemahiran masyarakat Dusun Tahunan dalam memproduksi alat-alat dapur dan pertanian.

 

Saat diajak oleh Mas Kamun dan Mas Saiful berkunjung ke rumah salah seorang tetua pande besi di Dusun Tahunan bernama Wargono (71), saya diperlihatkan sebuah paron (landasan untuk menempa besi) dan palu (alat untuk menempa besi) kuno yang konon merupakan milik Empu Supo yang diwariskan turun-temurun. Paron itu meski tidak besar, tapi cukup berat, mencapai sekitar 15 kg.

 

Prototip Alat Dapur dan Pertanian Khas Tahunan

Berbincang santai di teras rumah Mbah Wargono, salah seorang tetua pande besi Dusun Tahunan. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)
Di teras rumah Mbah Wargono—begitu kemudian saya menyapanya, kami duduk melingkar. Selain saya, Mas Kamun, Mas Saiful, dan Mbah Wargono, ada juga Mas Taufiq—putra Kepala Desa Putatsari, Mas Udin—adik Mas Saiful yang menulis ulang naskah Riwayat Pengeran Penatas Angin karya Supriyo Syakip dari Demak, dan Mas Farid—cucu Mbah Wargono.

 

Kami banyak membincang tentang jejak sejarah dan potret pande besi di Dusun Tahunan. Perbincangan yang gayeng karena ditemani teh hangat dan pisang goreng.

 

Dari Mbah Wargono, saya mendapatkan pengetahuan ikhwal prototip (model, wangun) alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan. Misalnya ada model arit yang disebut dengan istilah ngembang turi sumba keplayu. Ada juga arit dengan model nggagang terong ngembang turi tuwa

 

Ada pula model arit mbatuk banyak semar ndodok yang biasanya berfungsi untuk merajang tembakau. Selain itu, ada juga arit untuk merajang tembakau dengan model tikus mogok.

 

Alat-alat dapur dan pertanian produksi pande besi Dusun Tahunan memiliki ciri khas tertentu dilihat dari sisi bahan dan bentuknya. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)
Cangkul produksi pande besi Dusun Tahunan juga punya model tersendiri yang khas, yaitu yang disebut dengan istilah pacul krenyeh dan pacul terek. Pacul krenyeh memiliki ciri leburan baja cor anti lengket di dekat mata pacul. Baja cor di dekat mata pacul itu juga berfungsi menambah kekuatan sehingga pacul tidak gampang mleyot

 

Adapun pacul terek adalah pacul yang mata paculnya disambung dengan baja dengan tujuan menambah ketajaman.

 

Secara umum, menurut Mas Saiful, produk-produk alat dapur dan pertanian di Dusun Tahunan lazim disebut dengan istilah isen (isian), yaitu sebuah teknik pembuatan alat dapur dan pertanian dengan memadukan baja kualitas tinggi yang dilebur dengan besi konvensional, sehingga menghasilkan produk berkualitas tinggi dari segi fungsi dan estetika. Produknya juga mudah diasah dan awet tajam.   

 

Menggagas Desa Wisata

 

Dengan segenap potensi yang dimiliki Dusun Tahunan, kampung ini memiliki atraksi (daya tarik) yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata desa berbasis sejarah, budaya, dan edukasi. 

Melihat warga Dusun Tahunan membuat alat-alat dapur dan pertanian menjadi potensi wisata yang cukup menarik. (Foto: Dok. Badiatul M. Asti)
Pertama; wisata sejarah karena di tempat ini terdapat makam sosok-sosok penting dalam sejarah. Selain makam Pangeran Penatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin, juga ada makam tokoh-tokoh lainnya seperti Syekh Kafrawi P. Kusumoyudho, Pangeran Delimas, Pangeran Sosro Kusumo Atmojo, dan lainnya. 

 

Kedua; 300-an lebih warga Dusun Tahunan yang berprofesi sebagai pande besi bisa menjadi potensi atraksi wisata desa yang cukup magnetis. Wisatawan bisa melihat geliat warga menempa besi, membuat ala-alat dapur dan pertanian.

 

Ketiga; wisata edukasi dengan membuat museum yang berisi narasi jejak sejarah Dusun Tahunan  dan model-model alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan.

 

Ternyata, gagasan wisata desa itu, sudah menjadi visi dan impian Kepala Desa Putatsari, Marno, yang sempat menemui dan berdiskusi dengan saya terkait pengembangan desa wisata di kampung yang dipimpinnya itu. Gagasan itu, saat ini on progress. Secara bertahap sedang dalam proses realisasi dan eksekusi. 

 

Semoga dimudahkan dan dilancarkan. Aamiin ya Rabbal’alamiin.

 

—Badiatul  Muchlisin Asti, Citizen journalist & peminat sejarah dan budaya lokal.

Smartren dan BMKG Cilacap Selenggarakan Program Edukasi Bencana bagi Generasi Muda

Smartren dan BMKG Cilacap Selenggarakan Program Edukasi Bencana bagi Generasi Muda

Penandatanganan Piagam Kesepakatan Bersama terkait penyelenggaraan kegiatan rutin edukasi kebencanaan terhadap para pelajar di Cilacap. (Foto: istimewa)
Kangasti.id – Berkolaborasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Cilacap, pada Kamis (7/9/2023), Smartfren menyelenggarakan kegiatan Teman Pintar Indonesia bertajuk "Komunikasi Bencana di Era Digital". Acara berlangsung di Aula BMKG Tunggul Wulung Cilacap dan diikuti oleh 80 pelajar dan guru perwakilan dari 11 sekolah tingkat SMA di Cilacap.

 

Acara yang dibuka oleh Kepala Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap, Bagus Pramujo, itu dihadiri oleh Head of Community Development & Public Relations Smartfren, Dani Akhyar; Ketua MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) Cilacap, Sumarsono; dan Leader Nasional Smartfren Community, Didik Jatmiko,.

 

Dalam sambutannya, Kepala Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap, Bagus Pramujo, mengatakan bahwa pengetahuan tentang meteorologi, klimatologi, dan geofisika perlu dipahami sejak dini supaya generasi muda punya pengetahuan tentang penanggulangan risiko bencana alam.

 

“Oleh karena itu, BMKG Cilacap menggelar workshop bertemakan Komunikasi Bencana di Era Digital bagi pelajar di Kabupaten Cilacap. Kami mengucapkan terima kasih kepada Smartfren atas kolaborasi yag baik ini bagi masyarakat Cilacap," kata Bagus Pramujo.

 

Sementara itu, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Kabupaten Cilacap, Sumarsono, mengapresiasi langkah yang dilakukan BMKG Cilacap bersama Smartfren. “Kegiatan seperti ini sangat penting untuk dilakukan, apalagi di wilayah Kabupaten Cilacap yang merupakan daerah rawan bencana gempa dan tsunami, sehingga wawasan tentang meteorologi, klimatologi, dan geofisika perlu disosialisasikan secara kontinu kepada masyarakat, salah satunya kepada pelajar", kata Sumarsono.

Di sela acara dilakukan pengukuhan Sumardiyono (tengah) sebagai Leader Smartfren Community Cilacap. (Foto: istimewa)

Selanjutnya, Head of Community Development & Public Relations Smartfren, Dani Akhyar, dalam sambutannya mengatakan, saat bencana, informasi menyebar cepat di media sosial dan seringkali muncul hoax atau berita palsu yang menyesatkan yang seringkali menambah jumlah korban.

 

“Untuk itulah, peran literasi dan komunikasi kebencanaan di media digital sangat penting dan Smartfren bersama BMKG Cilacap mengambil peran di situ,” kata Dani.

 

Kerjasama Smartfren dan BMKG Cilacap ini dituangkan dalam Piagam Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Bagus Pramujo dan Dani Akhyar mewakili instansi masing-masing. Follow up dari kesepakatan bersama ini adalah penyelenggaraan kegiatan rutin tentang edukasi kebencanaan kepada siswa-siswi sekolah di Cilacap.

 

Workshop perdana dilaksanakan pada hari itu dengan pemateri pertama Deas Achmad Rivai (Prakirawan Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap), Teguh Wardoyo (Kapoksi Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap), dan Dani Akhyar, yang dalam hal ini sebagai peneliti komunikasi bencana dari Universitas Indonesia.

 

Dani Akhyar sendiri diketahui baru saja menyelesaikan studi Doktoral S3 di UI dengan disertasi berjudul Sistem Komunikasi Krisis dan Risiko Bencana Berbasis Media Sosial di Indonesia: Studi dengan Soft Systems Methodology Multi Method dalam Kasus Bencana Tsunami Vulkanik Selat Sunda 2018.

 

Dani berhasil mempertahankan disertasi tersebut dalam Sidang Promosi Terbuka S3 FISIP UI pada Senin, 10 Juli 2023, di hadapan para penguji. Bertindak selaku promotor adalah Dr. Hendriyani dan kopromotor Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto.

 

“Saya ingin ilmu saya ini dapat diaplikasikan langsung di masyarakat. Dan hal ini sejalan dengan inisiatif program edukasi Komunikasi Bencana di Era Digital yang didukung oleh Smartfren dan BMKG Cilacap,” tambah Dani.

 

Dalam kesempatan itu, dikukuhkan pula Sumardiyono sebagai Leader smartfren community Cilacap oleh Head of Community Development & Public Relations didampingi oleh Leader Nasional Smartfren Community. (bma)

Sasar Segmen Ultra-Premium, Smartfren Luncurkan Kartu Perdana bagi Pecinta Golf

Sasar Segmen Ultra-Premium, Smartfren Luncurkan Kartu Perdana bagi Pecinta Golf

Peluncuran Kartu Perdana Samartfren Golf di Jakarta (8/9/2023). (Foto: istimewa)

Kangasti.id - Kabar gembira bagi para pecinta golf, karena untuk pertama kalinya di Indonesia, Smartfren pada Jumat (8/9/2023) di Jakarta meluncurkan Kartu Perdana Smartfren Golf, sebuah inovasi produk telekomunikasi terbaru dengan manfaat ultra-premium bagi para pecinta golf. Dengan menggunakan kartu itu, para pelanggan dan pecinta golf bisa menikmati layanan telekomunikasi terbaik sekaligus berbagai keuntungan khusus yang mendukung kegiatan golf mereka.

 

Chief Executive Officer Smartfren, Andrijanto Muljono, mengatakan bahwa Kartu Pedana Smartfren Golf merupakan upaya Smartfren untuk masuk ke segmen ultra-premium dan para pecinta golf. “Hanya dengan satu kartu perdana ini, pelanggan Smartfren dan para pecinta golf bisa menikmati layanan telekomunikasi terbaik sekaligus mendapat berbagai penawaran khusus di lapangan golf tertentu,” tutur Andrijanto. 

 

Lebih lanjut dikatakan, Kartu Perdana Smartfren Golf dibanderol dengan harga terjangkau dan bisa diperoleh di berbagai Galeri Smartfren di Jabodetabek dan Jawa Barat; juga akan bisa dibeli di berbagai ecommerce (Tokopedia, Shopee, BliBli, Lazada, Bukalapak), aplikasi MySmartfren serta website Smartfren. 

 

Hanya dengan Rp 50.000, pelanggan kartu perdana tersebut bisa menikmati banyak sekali manfaat, mulai dari penawaran khusus saat berlatih golf di lapangan golf tertentu, hingga kuota data untuk kebutuhan komunikasi.

Andrijanto Muljono, CEO Smartfren saat meluncurkan Kartu Perdana Smartfren Golf. (Foto: istimewa)

Penawaran khusus untuk berlatih golf bisa didapat antara lain di Gunung Geulis Country Club, Klub Golf Bogor Raya, Rainbow Hills Golf Club, Jababeka Golf & Country Club, Emeralda Golf Club, dan Palm Springs Golf & Country Club. 

 

Adapun penawaran tersebut bervariasi dengan nilai hingga jutaan rupiah, dan dalam bentuk voucher yang dapat diklaim di aplikasi MySmartfren sebanyak 2x setiap bulan. Pelanggan setia Smartfren juga bisa menikmati manfaat serupa menggunakan promo SmartPoin. Hanya dengan menukarkan 30 SmartPoin maka bisa mendapatkan penawaran khusus di seluruh lapangan golf tersebut.

 

Pelanggan juga mendapatkan manfaat kuota data dengan total 11 GB (Kuota Utama 6 GB + Kuota Aplikasi 5 GB) yang aktif selama 30 hari. Lebih dari itu, pelanggan bisa menikmati Bonus Kuota Nasional 4 GB dengan cara klaim melalui aplikasi MySmartfren atau USSI *888#. 

 

Pelanggan juga bisa upgrade Kartu Perdana Smartfren Golf dengan paket data Kuota 100 GB terbaru untuk kebutuhan kuota internet yang lebih besar. Bagi pelanggan yang memiliki smartphone mutakhir dan mendukung eSIM, bisa juga upgrade Kartu Perdana Smartfren Golf ini menjadi eSIM sehingga tidak lagi memakai kartu fisik.

 

“Melalui berbagai produk yang relevan dengan minat dan kebutuhan, kami berharap Smartfren bisa selalu menjadi teman masyarakat Indonesia dalam membuka berbagai peluang baru, berkarya dan jadi juara dengan memanfaatkan akses internet,” pungkas Andrijanto. (bma)

Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (2)

Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (2)

Masjid Jami' Al-Huda yang penuh kenangan. (Badiatul Muchlisin Asti)

Kangasti.id - Pagi-pagi di hari Sabtu (22/4/2023), kami sudah antre mandi. Pengumunan dari takmir masjid selepas salat Subuh tadi menyebutkan bahwa salat Idulfitri di Masjid Jami’ Al-Huda akan dilaksanakan tepat pukul 06.30. 

 

Saya berangkat bersama anak lelaki saya, Fathan Mubina. Saya mempersilakan anak saya untuk menuju ke dalam masjid, sementara saya lebih memilih salat di halaman masjid—tepatnya di depan gerbang masuk masjid. Jemaah salat Id memang meluber hingga ke halaman dan sepanjang jalan kampung depan masjid. 

 

Saya lebih memilih salat Id di luar karena suasana lebih segar. Terutama agar saya bisa leluasa bersapa bila bertemu dengan teman-teman masa kecil dulu. Saat itu, saya memang berjumpa dengan sejumlah teman masa kecil dan sempat bertegur sapa, bahkan bercengkerama sebelum salat Id dimulai.

 

Masjid Penuh Kenangan

 

Masjid Jami’ Al-Huda didirikan jauh sebelum saya lahir oleh Kiai Muhammad Sidi—adik kandung kakek saya, Simbah Marto Dipuro Sirin. Masjid yang sangat lekat dengan kehidupan masa kecil saya. Banyak kenangan tertoreh di masjid ini. Di masjid inilah pertama kali saya belajar mengaji, sejak mengenal huruf hijaiyah hingga bisa membaca Alquran dengan baik. 

 

Jemaah salat Idulfitri meluber hingga ke jalan. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)
Selama tiga tahun, saat saya duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah)—setingkat SMP, setiap malam saya dan sejumlah teman tidur (menginap) di masjid ini. Ketika itu, saya bersekolah di dua tempat. Pagi hingga siang sekolah formal di MTsN Wirosari, lalu malam hari usai magrib sekolah nonformal di Madrasah Diniyyah Habibiyyah di Dusun Jatisari, Desa Tambakselo—berjarak sekitar 6 kilometer dari kampung saya.

 

Saya nglajo (pulang-pergi) naik sepeda bersama teman-teman menuju ke madrasah. Berangkat sebelum magrib, tiba di sana tepat waktu salat Magrib tiba. 

 

Sepulang dari madrasah—sekitar pikul 20.00 atau 21.00, mampir ke rumah sebentar menaruh tas, kemudian menuju masjid. Bila sekolah pagi libur, apalagi saat purnama, kami biasa mengisi waktu malam dengan bermain. Permainan favorit kami antara lain sepak bola dan gobag sodor. Tempat bermainnya di halaman belakang madrasah yang masih satu kompleks dengan masjid.

 

Saya tidak lagi jadi “anak masjid” alias tidak lagi tidur di masjid selulus dari MTs, karena saya meneruskan mondok (studi di pesantren) di daerah lain. Namun kenangan bersama teman-teman menginap di masjid sungguh sangat membekas di ingatan saya. 

 

Meski bangunan masjid kini telah berubah karena pembangunan, dan sudah tidak ada lagi anak-anak yang menginap di masjid, namun keceriaan masa kecil yang sangat menyenangkan sebagai “anak masjid” tak akan pernah terlupakan. 

 

Ambengan dan Foto Keluarga

 

Salah satu tradisi di masjid-masjid kampung di Jawa adalah melakukan doa bersama untuk leluhur yang sudah meninggal dunia setelah pelaksanaan salat Id. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Tak terkecuali di Masjid Jami’ Al-Huda, tradisi itu masih tetap dilestarikan hingga kini.

 

Potret keluarga besar bani H. Ahmad Syahudi dalam formasi lengkap. (Foto: Dok. Badiatul Muchlisin Asti)
Dalam tradisi itu, masing-masing keluarga membawa ambengan—hidangan berupa nasi dan lauk pauk yang ditaruh di nampan, baskom, atau tampah. Biasanya, ambengan berupa nasi, dengan lauk pauk meliputi mi goreng, kering tempe, urap sayur, tempe goreng, tahu goreng, telur (rebus atau dadar), ayam goreng, dan lain sebagainya. Setiap keluarga membawa ambengan dengan menu khas masing-masing.

 

Bagi yang tidak membawa ambengan, jangan khawatir, karena yang bawa ambengan akan rela berbagi dengan yang tidak membawa ambengan.

 

Saya sebenarnya mau ikut acara ini seusai salat Id. Sudah kangen suasana makan bareng seperti ini di masjid. Tapi, baru saja acara hendak dimulai, anak saya Bina menjawil saya dan membisiki bahwa saya sudah ditunggu keluarga di rumah.

 

Saya pun bergegas pulang. Ternyata memang di rumah telah berkumpul semua anggota keluarga di ruang tamu. Saya sendiri yang belum hadir sehingga ditunggu. 

 

Alhamdulillah, lebaran tahun ini saya dan kedua adik saya bisa mudik. Sehingga keluarga besar bani H. Ahmad Syahudi dan Hj. Sunarti—nama bapak dan ibu saya—tahun ini bisa berlebaran bersama.  

 

Selama ini memang bapak dan ibu hanya tinggal berdua. Kami ketiga anaknya tinggal di luar daerah. Saya yang paling tua, meski tinggal di lingkup satu kabupaten, namun cukup jauh karena rumah orangtua berada di ujung timur kabupaten, sedang rumah saya di ujung barat kabupaten.

 

Sedang kedua adik saya, yang laki-laki tinggal di Jogjakarta; dan yang perempuan—yang ragil—lebih jauh lagi, tinggal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Karena itu, kumpul bersama, termasuk di momen lebaran, adalah momen langka yang musti diabadikan. Karena itu, setelah saling berhalalbihalal, kami pun mengabadikan momen langka ini dengan foto bersama dengan formasi lengkap.  

 

Silaturahmi Keliling Kampung

 

Momen paling berkesan dari seluruh rangkaian selebrasi lebaran di kampung halaman adalah saat silaturahmi keliling kampung ke seluruh rumah saudara dan tetangga. Acara yang sering kami sebut dengan istilah balal—mungkin singkatan dari halalbihalal—itu, sungguh melelahkan secara fisik, karena harus jalan kaki dari rumah ke rumah ke seluruh rumah saudara dan tetangga.

 

Momen mengasyikkan silaturahmi dan balal keliling kampung jalan kaki ke rumah saudara dan tetangga. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)
Namun lelah fisik itu terbayar oleh kepuasan psikologis karena bertemu dengan wajah-wajah ramah dan sumringah serta bisa saling maaf-memaafkan di momentum lebaran.

 

Di kampung halaman saya, tradisi balal ke rumah saudara dan tetangga ini masih tetap lestari hingga kini. Di lebaran pertama, kami berombongan keluarga besar bani Marto Dipuro Sirin mengunjungi rumah-rumah saudara dan tetangga untuk balal.

 

Target kunjungan adalah ke seluruh rumah di lingkup Rukun Tetangga (RT). Selebihnya adalah ke rumah-rumah yang masih memiliki hubungan keluarga—biasanya berusia lebih tua. 

 

Karena banyak rumah yang harus kami kunjungi, maka kami sangat ketat mengatur waktu. Hanya berbicara seperlunya lalu pamit. Kecuali di rumah sesepuh—orang yang kami hormati, kami berkunjung relatif agak lama. Karena selain ada prosesi balal—meminta maaf—yang diwakili oleh ketua rombongan yang ditunjuk, juga ada sesi minta doa, nasehat, dan berbincang sekedarnya.

 

Tradisi balal ke rumah-rumah ini biasanya hanya sampai waktu zuhur. Kemudian dilanjut sore dan malam hari, namun dilakukan sendiri-sendiri alias tidak lagi berombongan sesuai kebutuhan target kunjungan dan silaturahmi masing-masing.

 

Menikmati Lontong Opor Yu Mi

 

Salah satu yang berkesan saat balal adalah saat berkunjung ke rumah Yu Mi—saudara sepupu saya, anak mbarep salah satu almarhum budhe (kakak kandung ibu saya). Rumahnya lumayan jauh bila ditempuh dengan jalan kaki.

 

Balal di rumah Yu Mi disediakan menu opor dan bestik entog yang lezat. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)

Lontong opor entog Yu Mi yang lezat. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)
Dari rute balal kami, kami harus memutar arah menuju ke selatan, lalu belok ke barat untuk sampai ke rumah Yu Mi. Biasanya waktu sampai rumah Yu Mi, hari sudah amat siang—hendak memasuki waktu zuhur. Perut kami sudah mulai keroncongan meski di setiap rumah yang kami singgahi menyediakan banyak kue lebaran.

 

Dan seperti biasa, Yu Mi menyediakan hidangan yang segera kami santap bersama. Seperti biasa pula, menunya adalah lontong opor yang lezat. Tapi kali ini ada pilihan sayur asem ayam dan bestik entok yang tak kalah menggoda lezatnya. 

 

Seusai makan, dan perut pun kenyang, sejurus kemudian kami segera berpamitan dan meneruskan balal yang tinggal beberapa rumah saja. Seterusnya kami lanjutkan balal-nya di sore dan malam hari. 

 

Begitulah rangkaian selebrasi lebaran di kampung halaman saya. Penuh keceriaan dan sangat menyenangkan. Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdziban. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Selesai)


Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (1)

Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (1)

Meriahnya Pawai Takbir Keliling yang diikuti oleh masyarakat dari berbagai musala. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)

Pakar psikologi komunikasi, mendiang Dr. Jalaluddin Rakhmat—atau yang akrab disapa Kang Jalal—dalam buku Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (1999) menyebutkan bahwa perjalanan mudik sebagai sebuah perjalanan melintas waktu. Mereka tengah membawa masa kini mereka ke masa lalu, supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan.

 

Dengan mudik, kata Kang Jalal lebih lanjut, orang-orang yang sudah kehilangan dirinya dalam hiruk pikuk kota, ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka yang dihitung sebagai angka dan skrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia.

 

Mereka ingin meninggalkan—walaupun sejenak—wajah-wajah kota yang garang, untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah. Mereka ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang menyejukkan.

 

Perspektif Kang Jalal itulah yang benar-benar saya rasakan pada setiap kali mudik dan berlebaran di kampung halaman. Suasana desa yang tetap menampakkan denyut keakraban dan keramahan. Meski sejumlah tradisi tertentu mulai sirna digilas kemajuan zaman.

 

Kerinduan Lebaran di Kampung Halaman


Sejak menikah tahun 2003 dan meninggalkan kampung halaman, saya selalu
berlebaran hari pertama di rumah sendiri. Karena selain biasanya ada jadwal menjadi khatib salat Id di masjid dekat rumah, juga hari pertama lebaran adalah momentum berhalalbihalal dengan keluarga besar istri. Baru sorenya, atau keesokan harinya, saya beserta istri dan ketiga anak saya, mudik ke kampung halaman saya di Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.  

 

Namun kerinduan terhadap selebrasi lebaran di kampung halaman, yang biasanya terjadi di hari pertama lebaran, menjadikan beberapa kali saya mengagendakan lebaran hari pertama di kampung. Sejak dua puluh tahun menikah (2003-2023) dan tinggal di kampung istri, baru empat kali saya berlebaran hari pertama di kampung halaman, yaitu lebaran tahun 2016, 2017, 2021, dan 2023.

 

Seperti biasa, tahun ini pun saya mengikuti keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Sabtu (22/4/2023). Hari Jumat pagi (21/4/2023), kami sudah meluncur menuju ke kampung halaman. Perjalanan hanya sekitar satu setengah jam—karena tak ada kemacetan berarti, bahkan jalanan cenderung sepi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang sangat padat oleh kendaraan pemudik.   

 

Kejutan dari Rubi dan ‘Reuni’ Dadakan

'Reuni' dadakan. Saya, Rubi (tengah), dan Sulipah. (Foto: Dok. Badiatul Muchlisin Asti)
Baru sekira setengah jam saya tiba di rumah orangtua di kampung, sesosok pria datang bertamu. Di depan pintu ia bilang, "Maaf, mau cari Pak Sin..."

 

Sin adalah nama panggilan saya di kampung. Saya sendiri yang menyambutnya, dan segera saya dapat mengidentifikasi siapa pria berkaos merah di hadapan saya itu. Ya, ternyata ia adalah Rubi Mulyono Seloaji, teman masa kecil saya saat SD, yang kini tinggal di Purwokerto.

 

Setelah sempat berkomunikasi di WAG alumni SD, ini untuk pertama kalinya saya bertemu fisik dengannya sejak sekitar tahun 1985. Rubi—begitu saya akrab menyapanya, adalah teman istimewa saya dulu di SD. Istimewa karena ia teman satu-satunya di kelas yang Cina dan non-muslim. Tapi perbedaan tak lantas membuat kami tidak akrab. Kami banyak merajut kenangan pertemanan masa kecil yang masih terus membekas di ingatan hingga kini.

 

Bagi saya, kedatangan Rubi persis saat saya baru saja sampai di rumah orangtua, merupakan sebuah kejutan. Surprise. Gara-gara itu kemudian kami meluncur ke rumah Sulipah—teman SD kami yang tinggal di kampung.

 

Lalu kami mengontak beberapa teman lainnya yang tinggal di kampung. Jadilah ‘reuni’ dadakan, meski yang hadir sangat terbatas. Dan sejenak kami pun bercengkerama, mengenang cerita-cerita masa kecil kami pada pertemuan itu bersama teman SD lainnya yang bisa hadir, yaitu: Parjan, Parwati, dan Siti.

 

‘Tidur’, Tradisi yang Mulai Dilupakan

 

Salah satu tradisi menyambut lebaran di masjid kampung halaman saya adalah ‘tidur’—yaitu  menabuh bedug dengan pukulan yang rancak sehingga menghasilkan nada yang enak didengar. Tidur ini sebagai penanda bahwa Idulfitri sudah tiba.

 

Tidur dimulai usai jemaah salat Ashar hingga menjelang magrib. Sering kemudian dilanjut setelah salat Maghrib untuk mengiringi alunan suara takbir yang bersahut-sahutan lewat corong masjid, sehingga suasana menjadi sangat syahdu.

 

Dulu, di masa kecil saya, tidur begitu magnetis. Membuat saya dan teman-teman berduyun-duyun datang ke masjid untuk melihat ‘atraksi’ tidur dengan dibarengi perasaan gembira karena sebentar lagi akan mengakhiri puasa dan menyambut lebaran yang pasti sangat menyenangkan.

 

Tapi seiring perkembangan zaman, tradisi tidur sudah mulai dilupakan. Orang-orang seperti sudah tak lagi peduli dengan tradisi ini. Seperti Jumat sore itu, seusai salat Ashar berjemaah di Masjid Jami’ Al-Huda—yang tak jauh dari rumah orangtua saya, saya menyaksikan tidur yang hanya berlangsung sebentar. Hanya sekitar 5 – 10 menit saja.

 

Tak ada anak-anak dan remaja yang datang seperti dulu. Tidur seolah hanya sekedar ada atau daripada tidak ada. Sementara orang-orang juga sudah tak lagi peduli ada atau tidaknya tradisi itu. Tabuhan bedug nan rancak itu pun seperti menembus sunyi. Tradisi tidur menyambut lebaran sudah mulai hilang dan dilupakan.

 

Menu Lontong Opor di Buka Puasa Terakhir    

 

Salah satu tradisi ibu saya dalam menyambut lebaran adalah menghidangkan menu lontong opor komplet nan lezat di momen buka puasa terakhir. Kelezatan hidangan ibu inilah yang melambai-lambai alias sering membuncahkan kerinduan tersendiri.

Hidangan lontong dan opor ayam buatan ibu yang selalu ngangeni. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)

Ibu sendiri yang menyiapkan hidangan itu. Seharian, meski sedang berpuasa, ibu berjibaku di dapur untuk memasak opor dan pelengkap lainnya. Kali ini dibantu adik perempuan saya yang tinggal di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) karena lebaran ini ia mudik bersama suami dan kedua anaknya. Lontongnya beli di Mbak Tin—keponakan ibu yang membuka warung lontong.

 

Saya selalu bersemangat melahap hidangan lontong opor yang dihidangkan ibu. Apalagi secara personal, saya memang sangat menyukai lontong yang disajikan dengan opor. Bagi saya, tekstur lontong yang lembut memang sangat cocok bila disantap dengan kuah opor yang gurih.

 

Selain opor, sayur tahu buatan ibu juga sangat favorit. Ibu memang selalu menyediakan dua pilihan sayur sebagai pelengkap menyantap lontong, yaitu opor ayam dan sayur tahu. Sayur tahunya diberi tambahan krecek. Paduan tahu dan krecek itulah yang membuat cita rasanya sangat gurih dan lezat. Sangat cocok juga sebagai teman menyantap lontong.

 

Opor ayam buatan ibu juga juara. Potongan lontong diguyur kuah opor yang gurih dan dibubuhi sambal krecek yang aduhai menggoda, lalu disantap dengan daging ayam yang sedap. Dilengkapi kerupuk udang yang gurih dan kriuk, benar-benar sajian lontong opor komplet ala ibu yang selalu ngangeni (bikin rindu).  

 

Menyaksikan Pawai Takbir

Salah satu kreasi peserta pawai takbir keliling yang menarik perhatian penonton. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)
Salah satu selebrasi menyambut lebaran yang sampai saat ini masih dilestarikan di kampung halaman saya adalah pawai takbir keliling kampung selepas salat Isya. Sejak kecil, saya selalu bersemangat menyaksikan selebrasi ini.

 

Ketika sudah beranjak besar, sebelum saya merantau ke daerah lain untuk studi dan menikah, saya mulai ikut pawai takbir. Setiap tahun, nyaris tidak pernah absen. Jalan kaki membawa obor keliling kampung—sembari melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid—bersama teman-teman, alangkah senangnya.

 

Dulu, pawai takbirnya sangat sederhana. Setiap peserta hanya membawa obor atau kami menyebutnya oncor yang terbuat dari bambu yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu yang terbuat dari kain tidak terpakai. Kami biasanya sudah ‘sibuk’ membuat oncor satu atau dua hari sebelum pawai diadakan.

 

Selebihnya ada pengeras suara untuk komando mengumandangkan takbir dan musik dari radio tape yang dibawa dalam becak atau mobil bak terbuka. Meski sangat sederhana, namun ketika itu suasananya sangat menyenangkan.

 

Pawai takbir masih dilestarikan hingga kini. Sempat absen selama pandemi COVID-19. Namun setelah virus Corona melandai, pawai takbir kembali digelar. Tahun ini pawai takbir kembali digelar dengan cukup meriah. Diikuti oleh rombongan perwakilan musala dan RT (Rukun Tetangga).

 

Masing-masing rombongan menyuguhkan penampilan terbaiknya—meski tidak dilombakan, di antaranya dengan membuat kreasi yang menarik seperti membuat replika Alquran raksasa, replika binatang, replika dinosaurus, sepeda hias, dan lain sebagainya. Tak lupa gema suara takbir terus beralun dari para peserta pawai.

 

Bagi saya, pawai takbir adalah salah satu bentuk ekspresi masyarakat muslim dalam upaya meluapkan kegembiraan setelah sukses menjalankan puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Sepanjang tanpa dibarengi sikap berlebih-lebihan dan perilaku tercela seperti menenggak minuman keras, pawai takbir sah-sah saja diselenggarakan dan dilestarikan sebagai sebuah tradisi baik. Apalagi banyak masyarakat yang menyaksikannya sebagai sebuah hiburan menyambut lebaran Idulfitri. (bersambung)

Kue Lumpur Bakar Purwodadi, Bercita Rasa Legit Bertekstur Lembut

Kue Lumpur Bakar Purwodadi, Bercita Rasa Legit Bertekstur Lembut

Kue Lumpur Bakar Purwodadi produksi Erni Iswati, digadang-gadang jadi pilihan oleh-oleh Kota Purwodadi. (Foto: Badiatul Muchlisin Asti)

Berawal dari keinginan untuk berkreasi kue yang bisa menjadi oleh-oleh khas Purwodadi, Erni Iswati akhirnya memilih dan menetapkan hati memproduksi kue lumpur bakar. Kue lumpur bakar ia pilih, selain unik, bercita rasa manis, juga di Kota Purwodadi belum ada.

Kwaran Pulokulon Gelar Pesta Siaga Pertama Pascapandemi

Kwaran Pulokulon Gelar Pesta Siaga Pertama Pascapandemi

Suasana upacara pembukaan Pesta Siaga yang diadakan oleh Kwaran Pulokulon pada Sabtu (25/02/2023). Foto: Jamilatul Istiqomah
Dalam rangka membangun tujuan gerakan pramuka, Kwartir Ranting (Kwaran) Kecamatan Pulokulon, Kabupaten Grobogan menggelar Pesta Siaga pada Sabtu, (25/02/ 2023) yang diikuti perwakilan sekolah dasar se-Kecamatan Pulokulon. Upacara pembukaan pesta siaga dipusatkan di halaman Balai Desa Panunggalan

Adakan Kelas Menulis, FSPG Kembali Kepakkan Sayap Literasi Pascapandemi

Adakan Kelas Menulis, FSPG Kembali Kepakkan Sayap Literasi Pascapandemi

Suasana Kelas Menulis Artikel yang diadakan Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG) di Rumah Kreatif Grobogan, Minggu (12/2/2023). (Foto: Irkam Asnawi)

Setelah vakum berkegiatan akibat pandemi Covid-19, Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG) kembali mengadakan even literasi. Kelas Menulis Artikel merupakan agenda perdana yang diadakan FSPG bekerja sama dengan Mumtaz Training Center sebagai tanda bangkitnya kembali kegiatan literasi setelah beberapa waktu vakum akibat pandemi.