Mengunjungi Mrapen Culture Festival #1: Menikmati Malam dengan Lagu-lagu Kenangan dan Mendedah Sejarah di Kenduri Mrapen

Anak-anak dari Padhepokan Adhem Ayom Ayem asuhan Mbah Raden saat unjuk kebolehan memainkan rampak gendang pada Mrapen Culture Festival #1. (Badiatul Muchlisin Asti)

Sebuah gelaran bertajuk Mrapen Culture Festival #1 dihelat oleh Komunitas I Love Gubug (KILG). Even dihelat selama tiga hari, Jumat-Minggu, 28-30 Desember 2023 di kompleks Api Abadi Mrapen, Desa Manggarmas, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan.

Sebagai warga Godong, saya tentu tertarik dengan gelaran festival itu. Karena, gelaran seperti itu, bagi saya, termasuk even langka. Sangat jarang diadakan. Apalagi festival itu dihelat di tengah objek wisata Api Abadi Mrapen sedang mengalami apa yang saya sebut sebagai “krisis pengunjung”.

Meski sudah “diakuisisi” oleh Pemprov Jateng dan bangunan Api Abadi Mrapen sudah “disulap” menjadi wah,  bahkan dilengkapi GOR, namun tidak serta membuat daya tarik objek wisata ini terdongkrak dan jumlah kunjungan naik. Justru yang terjadi sebaliknya. Apalagi sejak pageblug COVID-19 melanda, pamor objek wisata ini seolah makin redup dan tingkat kunjungan menurun.

Nah, ketika KILG berinisiatif menggelar festival, tentu merupakan langkah yang patut diapresiasi. Setidaknya sebagai langkah awal untuk “mengingatkan” kembali bahwa kita punya objek wisata Api Abadi Mrapen, yang sesungguhnya sudah bereputasi nasional, yang perlu perhatian.

Saya pun mengagendakan mengunjungi gelaran festival itu. Dua kali saya berkunjung. Kali pertama saya datang pada hari kedua festival. Saya datang malam hari, sampai lokasi sekira jam 20.00. Tiket masuk sekaligus ongkos parkir hanya Rp 5.000,-.

Malam itu, pengunjung cukup ramai, mesti tak terlalu ramai. Festival digelar di halaman kompleks wisata Api Abadi Mrapen. Festival dimeriahkan dengan bazar makanan yang sebagian besar menawarkan jajanan dan kudapan fast food serta minuman seperti es teh.

Menikmati Lagu-lagu Kenangan Koes Plus

Saat saya tiba, di panggung utama festival sedang berlangsung live music yang spesial menampilkan lagu-lagu kenangan dari Koes Plus. Meski bukan penggemar lagu-lagu Koes Plus, tak urung saya menikmati juga.

Mbah Raden unjuk kebolehan membacakan sajak karyanya pada Mrapen Culture Festival #1. (Badiatul Muchlisin Asti)

Di sela itu, ada pembacaan sajak dari Budayawan Grobogan yang juga pengasuh Padhepokan Adhem Ayom Ayem, Mbah Raden. Mbah Raden, atau bernama asli Suyadi, membacakan sajak karyanya bertajuk Sebuah Angan, yang ia bacakan dengan segenap penjiwaan yang sangat dalam, ekspresif, dan deklamatif.

Sepertinya, acara-acara seperti ini memang perlu dipersering, agar para seniman dan budayawan di Kabupaten Grobogan mendapatkan panggung untuk mengerkspresikan karya-karyanya. Selain juga untuk menyemarakkan iklim seni dan budaya di kabupaten dengan wilayah terluas kedua se-Jawa Tengah ini.

Setelah performance pembacaan sajak oleh Mbah Raden, dilanjut lagi live music. Sayang, sejurus kemudian, hujan cukup deras mengguyur. Penonton pun bubar, mlipir cari tempat ngiyup. Sementara saya dan Mbah Raden, memilih menyeruput kopi di pusat jajanan Api Abadi Mrapen yang terletak di deretan sebelah barat.

Kenduri Mrapen, Upaya Mendedah Sejarah

Kunjungan kedua saya ke festival adalah pada hari ketiga alias keesokan harinya, kali ini siang hari, saya tiba di lokasi sekitar jam 14.00. Saat saya tiba, sedang berlangsung acara Kenduri Mrapen bertempat di pendopo Api Abadi Mrapen.

Suasana acara Kenduri Mrapen digelar di pendopo kompleks objek wisata Api Abadi Mrapen sebagai salah satu rangkaian Mrapen Culture Festival #1. (Badiatul Muchlisin Asti)

Saat saya datang, acara sudah berlangsung, sehingga saya tidak banyak tahu, apa itu yang dimaksud Kenduri Mrapen. Tapi dari apa yang disampaikan oleh sejumlah nasrasumber, saya jadi tahu, Kenduri Mrapen adalah istilah untuk menyebut semacam sarasehan yang berupaya mendedah sejarah Api Abadi Mrapen.

Ada tiga narasumber yang dihadirkan, yaitu Anas Rofiqi, juru pelihara Api Abadi Mrapen; Prayitno, guru sejarah SMA N 1 Godong; dan Mbah Raden, budayawan. Ketiganya saya kenal baik.

Saat saya datang, Mas Anas sedang menyampaikan babak akhir dari penyampaikan ceritanya. Sepertinya, Mas Anas lebih banyak bercerita terkait Api Abadi Mrapen dari sisi legenda, sedang Pak Prayit didapuk mendedah dari sisi sejarah, sedang Mbah Raden dari sisi refleksi Api Abadi Mrapen dalam perspektif masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Meski “hanya” diikuti oleh sejumlah pelajar SMA N 1 Godong, acara semacam ini juga perlu dipersering dengan jangkauan audiens yang lebih luas—tak hanya pelajar, tapi juga masyarakat umum. Cakrawala pengetahuan dan pengenalan masyarakat Grobogan hemat saya perlu terus diperluas dan diperdalam terkait kekayaan local genius-nya, termasuk Api Abadi Mrapen. Agar wawasan tak berhenti hanya pada cerita tutur, pada seliweran mitos-mitos, tapi juga kajian sejarah yang lebih mendalam dan mencerahkan.  

Berfoto bersama usai Kenduri Mrapen dalam rangkaian Mrapen Culture Festival #1. (Badiatul Muchlisin Asti)

Festival, Berawal dari Keprihatinan

Sebagai sebuah selebrasi, bagi saya, Mrapen Culture Fastival #1 memang belum festive. Banyak yang perlu ditingkatkan lagi di masa mendatang untuk gelaran serupa berikutnya. Panitia perlu berkolaborasi dengan sebanyak mungkin institusi dan pegiat seni dan budaya untuk menampilkan sejumlah acara yang lebih menarik dan menyedot kunjungan, serta menggandeng media (media partner) dan para influencer agar gaung festival ini lebih cetar membahana.

Namun, sebagai sebuah langkah awal, saya sangat mengapresiasi dan angkat topi, terutama kepada kolega saya di Komite Ekonomi Kreatif (KEK) Kabupaten Grobogan, Muh. Umar. Karena dialah sosok di balik gelaran Mrapen Culture Festival. Mas Umar—begitu saya akrab menyapanya, adalah inisiator sekaligus ketua panitia Mrapen Culture Festival #1.

Kepada saya, Mas Umar menyatakan, helatan Mrapen Culture Festival ia gagas berawal dari keprihatinannya melihat sepinya pengunjung Api Abadi Mrapen, padahal bangunannya sudah mumpuni dan bagus.

Di sisi lain, dorongan menghelat festival itu karena ia merasa tertantang saat mengikuti bimtek pengembangan kompetensi pelaku wisata Grobogan. Ia berpikir, kenapa di Grobogan tidak ada even kepariwisataan berlevel nasional, padahal Grobogan memiliki banyak destinasi wisata yang melegenda, bahkan sampai ke tingkat internasional.

Sejumlah stan makanan dalam Mrapen Culture Festival #. (Badiatul Muchlisin Asti)

Dari situlah, kemudian ia menggagas Mrapen Culture Festival yang ia eksekusi bersama kawan-kawannya di KILG. Ia berharap, festival dapat menjadi titik awal bangkitnya kembali objek wisata Api Abadi Mrapen. Sehingga Api Abadi Mrapen kembali bersinar, ramai dikunjungi wisatawan, dan (kembali) berkibar di kancah nasional.

Mrapen Culture Festival #1 sendiri dimeriahkan beragam acara dan hiburan. Selain yang telah saya ceritakan, festival juga dimeriahkan di antaranya senam aerobik, pentas seni tari, seni barong, seni hadrah, dan rampak gendang. Harapan saya, semoga Mrapen Culture Festival #1 bukan yang pertama sekaligus yang terakhir.

Juga festival berikutnya perlu direncanakan serta dipersiapkan lebih matang (lagi) agar festival lebih banyak pengunjungnya dan gemanya menggaung lebih luas hingga ke pentas nasional. Serta, bisa menjadi salah satu agenda destinasi wisata tahunan Kabupaten Grobogan yang ditunggu.