Benarkah Tak Boleh Mendesah Saat Berjimak?


Bolehkah mendesah atau merintih saat berjimak dengan suami?

Berjimak atau bersetubuh bagi pasangan suami-istri merupakan ranah privasi dan bukan konsumsi publik. Dalam Islam, haram hukumnya mempertontonkan aksi persetubuhan suami-istri. Bahkan menceritakannya saja terlarang. Karenanya, syariat Islam mensyaratkan agar aktivitas seks suami-istri memperhatikan aspek privasi ini, dalam arti dilakukan di tempat tertutup, sehingga tidak terlihat oleh orang lain.

Lebih jauh lagi, hubungan seksual juga musti memperhatikan situasi dan kondisi, sehingga aspek privasi itu benar-benar terjaga dengan baik, tidak hanya harus tidak terlihat oleh orang lain, namun juga tidak terdengar oleh orang lain. 

Lalu, bagaimanakah hukum mendesah atau merintih saat sedang berjimak? Dalam beberapa literatur terkait persoalan jimak, memang terdapat sebuah anjuran agar hubungan seksual dilakukan secara diam-diam, membisu, tanpa ditingkahi suara. Misalnya dalam buku Gauli Istrimu dari Arah Sesukamu yang ditulis oleh Ust. Dr. H. Muchammad Ichsan, Lc, MA yang di dalamnya mengulas tentang Adab Berhubungan Seks, yang antara lain menyebutkan perlunya memperhatikan adab agar hubungan seksual tidak diikuti dengan desahan yang keras alias dilakukan dengan diam dan diam-diam.

Beberapa dalil yang dikemukakan adalah beberapa hadits, yang menurut penulisnya sendiri, adalah hadits dhaif (lemah). Antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Hasan, di mana Abu Ubaid rahimahullah berkata mengenai hadits Hasan berkenaan dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya sementara istrinya yang lain mendengar (desahan), dia berkata, “Mereka (para ulama) membenci wajas (suara yang keluar akibat nikmatnya berhubungan seks).” (HR. Baihaqi). 

Hadits lainnya adalah, diriwayatkan dari Wathilah ia berkata bahwasannya Rasulullah  Saw bersabda kepada istri yang ada di bawahnya, “Tenang dan tentramlah kamu!” (HR. Thabrani).

Dari hadits-hadits itu, penulis buku tersebut menarik kesimpulan, meskipun semuanya dhaif—maksudnya hadits-hadits yang dikemukakan sebagai dalil tidak bolehnya mendesah saat bersenggama, namun maknanya adalah benar, yaitu hendaknya ketika bersenggama tidak menimbulkan bunyi atau suara yang dapat didengar oleh orang lain, terutama anak-anak.

Dalam literatur kitab klasik, juga dijumpai pandangan serupa tentang anjuran untuk tidak bersuara saat bersenggama yang disandarkan pada hadits dhaif. Salah satunya terdapat dalam kitab Qurratul ‘Uyun karya Syekh Al-Imam Abu Muhammad at-Tahami.

Di dalam kitab itu disebutkan, bagi suami-istri, apabila mereka bersetubuh, sebaiknya ketika bersetubuh jangan berbicara, karena hal itu makruh hukumnya. Dalilnya sebuah sabda Nabi Saw, “Hendaklah salah seorang di antara kalian jangan banyak berbicara ketika sedang bersetubuh, karena sesungguhnya sebagian dari akibat banyak bicara ketika sedang bersetubuh itu bisa menyebabkan anaknya kelak bisu.” 

Dinyatakan, yang dimaksud “banyak bicara ketika bersetubuh” adalah mengeluarkan suara sambil bernafas panjang (tersengal-sengal) dari hidungnya yang jorok suaranya terdengar orang lain.

Selain anjuran tidak bersuara ketika berjimak, ada terdapat riwayat shahih yang secara eksplisit membolehkan mendesah saat bersenggama. Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Mudzir sebagaimana dinukil Imam A-Suyuthi dalam tafsir Ad-Duraru al-Mantsur, bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan pernah suatu kali mengajak istrinya berhubungan intim. Tiba-tiba istrinya mengeluarkan desahan nafas dan rintihan yang penuh gairah, sehingga sang istri malu dengan sendirinya. Namun, beliau justru menanggapi, “Tak jadi masalah. Sungguh demi Allah, yang paling menarik dari diri kalian adalah desahan nafas dan rintihan kalian.”

Imam As-Suyuthi juga meriwayatkan bahwa ada seorang Qadhi yang tengah menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah nafasnya. Qadhi pun menegurnya. Namun tatkala Qadhi menggauli istrinya lagi, ia justru berkata, “Coba lakukan lagi seperti kemarin.”

Ibnu Abbas pernah ditanya tentang hukum desahan dan rintihan yang dilakukan tatkala berhubungan intim. Beliau menjawab, “Apabila engkau mengauili istrimu, berbuatlah sesukamu!”

Dari uraian di atas, kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwasannya mendesah dan merintih sebagai ekspresi gairah dan kenikmatan bersenggama tidaklah terlarang secara syariat. Tak ada dalil yang secara valid melarang mendesah dan merintih saat bersenggama karena hal itu sejatinya juga merupakan fitrah dan tabiat yang umumnya dimiliki oleh kaum wanita, bahkan juga pria.

Bila ada anjuran untuk tidak mendesah dan merintih dengan desahan dan rintihan yang keras, sebagaimana yang termaktub dalam buku dan kitab yang telah disebutkan di muka, sesungguhnya konteksnya adalah “bila khawatir didengar oleh orang lain”.

Sebagaimana juga dinyatakan Zainab Hasan Syarqawi dalam Ahkamul Mu’asyarah Az-Zaujiyah, “Dimakruhkan seorang suami mencium atau menggauli istrinya di dekat orang banyak atau dengan suara yang didengar oleh orang lain atau istri yang lain jika ia menikah dengan istri lain, karena ini merupakan perbuatan merendahkan.”

Adapun bila situasi dan kondisinya memang aman dari terlihat dan terdengar oleh orang lain, maka mendesah dan merintih bukanlah hal yang terlarang, karena secara fitrah, hubungan seksual memang memungkinkan ditingkahi oleh desahan maupun rintihan. Wallahu a’lam.