Daging Kuda, Halal atau Haram?


Saya pernah diberi oleh-oleh berupa abon daging kuda, namun saya enggan memakannya karena ragu akan kehalalan
nya. Tapi kata yang ngasih, daging kuda halal dimakan. Mohon penjelasannya, terima kasih.

Kuda adalah hewan yang populer dijadikan sebagai tunggangan atau alat transportasi oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Di Jawa, kuda disebut dengan nama jaran dan biasa dimanfaatkan sebagai penarik dokar atau delman. Kuda juga sering disimbolkan sebagai lambang keperkasaan karena kuda memang dikenal sebagai hewan yang kuat, kokoh, dan bisa berlari cepat. 

Meski belum banyak, kuliner dari olahan daging kuda sudah lama ada yang menjualnya. Daging kuda bisa diolah menjadi berbagai menu, seperti rica-rica, tongseng, dan lain-lainnya. Tapi yang paling populer dijadikan sebagai sate. Sate kuda sudah bisa dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Jogjakarta.

Lalu, bagaimana hukum menyantap daging kuda? Halal ataukah haram?

Jumhur ulama menyatakan kehalalan mengonsumsi daging kuda, dengan berdasarkan pada sejumlah hadits shahih. Antara lain, dari Asma’ bin Abu Bakar ra, ia berkata,

نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ

Pada zaman Rasulullah Saw kami pernah menyembelih seekor kuda, lalu kami memakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengomentari hadits ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di dalam Syarah Umdatul Ahkam menyatakan, “Padanya disebutkan bahwa daging kuda halal dan boleh memakannya; karena termasuk yang baik-baik. Ini adalah mazhab tiga imam: Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Dalil mereka bahwa hukum asalnya adalah halal. Juga terdapat keterangan valid akan kehalalannya dalam beberapa hadits sahih dari ketetapan beliau Saw sebagaimana dalam hadits ini, dan perkataannya dalam hadits berikutnya.”

Dari Jabir ra berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

“Rasulullah Saw pada waktu perang Khaibar melarang makan daging keledai negeri (jinak, piaraan) dan membolehkan daging kuda.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Muhammad bin Usmail Al-Amir Ash-Shan’ani kitab Subulus Salam mengomentari hadits ini dengan antara lain menyatakan, “Hadits ini merupakan dalil yang menghalalkan daging kuda. Inilah pendapat Zaid bin Ali, Asy-Syafi’i, dua ulama terkemuka madzhab Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan juhur ulama salaf dan khalaf berdasarkan hadits ini, dan juga hadits-hadits shahih lainnya yang mempunyai makna sama.”

Namun sebagian ulama dari madzhab Al-Hanafiyah, melalui jalur periwayatan Al-Hasan bin Ziyad, dan juga pendapat kedua dari madzhab Al-Malikiyah, menyelisihi pendapat jumhur ulama dan menyatakan haramnya memakan daging kuda. Berdalil dengan firman Allah Swt, “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar kamu

Dalil pengharaman kuda dengan mendasarkan pada ayat tersebut disanggah oleh jumhur ulama sebagai simpulan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan keledai untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya. Disebutkan manfaat “bisa ditunggangi dan sebagai hiasan” karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam salah satu kitabnya, Ath-Thib An-Nabawi, menyatakan bahwa disebutkannya daging kuda secara bersamaan dengan daging bighal dan keledai bukan berarti hukum dagingnya sama dalam segala sisi. Hukum yang berkaitan dengan pembagian dalam harta rampasan juga tidak sama. Allah sering menyebutkan secara bersamaan beberapa hal yang bertentangan. Firman Allah “..agar kalian menungganginya” tidak berarti daging hewan itu tidak boleh dimakan.

Ayat itu juga tidak melarang kuda untuk digunakan selain untuk dikendarai, asalkan dimanfaatkan untuk keperluan lain. Ayat itu menegaskan fungsi kuda yang paling pokok, yakni untuk dikendarai. Dua hadits yang menegaskan halalnya daging kuda adalah sahih. Tidak ada hadits yang bertentangan dengan kedua hadits tersebut.

Dengan demikian, pendapat yang insya Allah lebih rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halalnya mengonsumsi daging kuda. Wallahu a’lam.

*Pertanyaan seputar Fikih Kuliner, silahkan dikirim melalui WhatsApp: 081347014686.