Bolehkah Menyantap Tokek Sebagai Obat?


Bolehkah memakan tokek dengan tujuan sebagai obat? Terima kasih atas jawabannya.

Tokek adalah sejenis reptil yang masuk ke dalam golongan cicak besar. Berkepala besar, dengan panjang mencapai 340 mm, hampir setengahnya adalah ekornya. Sisi punggung kasar, dengan banyak bintil besar-besar.

Tokek kerap ditemui di pohon-pohon pekarangan hingga di dalam rumah, terutama di pedesaan dan tepi hutan. Suaranya yang keras dan khas, tokke ... tokkee ... menjadi dasar penyebutan namanya dalam berbagai bahasa.

Menurut cerita tutur dari mulut ke mulut, binatang ini konon dipercaya bisa menjadi obat gatal. Sebuah tulisan di internet menyebutkan, tokek memiliki antibodi yang sangat bermanfaat untuk menetralisir racun dalam tubuh, sehingga bisa untuk mengatasi segala jenis alergi pada kulit ataupun pernafasan, seperti asma, gatal-gatal, kudis, eksim, dan lain sebagainya.

Namun, terlepas dari manfaatnya, terlebih dulu harus dikaji dalam perspektif status hukumnya, halal dan haramnya, sebelum lebih jauh mengkaji hukum mengkonsumsi tokek sebagai obat.

Tokek oleh sementara ulama dimasukkan dalam jenis cicak. Sedang mayoritas ulama menyatakan cicak hukumnya haram dikonsumsi. Dalil pengharaman cicak adalah karena Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuh cicak.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Rasulullah Saw memerintahkan agar membunuh al-wazagh, dan beliau menyebutnya fuwaisiq (fisq kecil). (HR. Ahmad, Muslim, dan Abdulrazzaq).

Dari Ummu Syarik ra bahwa Nabi Saw memerintahkan untuk membunuh al-wazagh. Beliau menyatakan, “Dahulu al-wazagh yang meniup dan memperbesar api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Sedang dalam kaidahnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dalam Fiqhus Sunnah Lin Nisa’, semua hewan yang syariat Islam memerintahkan untuk dibunuh, maka menurut jumhur ulama semua itu diharamkan memakannya..

Al-wazagh sendiri ada yang mengartikan cicak, ada yang mengartikan tokek. Imam Nawawi berkata, bahwa menurut ahli Bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek (saam abrash), karena tokek adalah cicak besar.

Syihabuddin Asy-Syafii dalam kitabnya, At-Tibyan limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman mengatakan bahwa berdasarkan berbagai penjelasan, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram.

Dengan demikian, status hukum haramnya mengonsumsi tokek karena Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuhnya. Lalu bagaimana bila menyantapnya untuk tujuan pengobatan?

Para ulama berbeda pendapat terkait hukum pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang haram. Sebagian ulama mengharamkan, sebagiannya lagi membolehkan. Ulama yang mengharamkan bersandar pada berbagai riwayat yang berisi larangan mengonsumsi obat dari sesuatu yang haram.

Di antaranya, dari Abu Darda’ ra bahwa Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan  penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan untuk tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, berobatlah kalian, tapi janganlah kalian berobat dari yang haram.” (HR. Abu Dawud).

‘Ali bin Sulaiman Ar-Rumaikhon menyatakan, tidak boleh berobat dengan barang haram berdasarkan dalil-dalil syariat yang menunjukkan pengharaman hal itu.

Adapun ulama yang membolehkan berobat dengan sesuatu yang haram berdalil bahwa berobat merupakan hal yang bersifat darurat. Dan kedaruratan itu membolehkan hal yang hukumnya terlarang.

Namun, kebolehan mengonsumsi obat haram ini tidak berlaku mutlak. Mereka yang mendukung pendapat ini mensyaratkan beberapa hal penting sebagaimana disebutkan Ahmad Sarwat dalam buku Halal atau Haram, meliputi:

Pertama; usahakan yang halal terlebih dahulu. Selama masih ada obat halal, obat haram tidak boleh digunakan, sebab unsur kedaruratannya hilang.

Kedua; tidak menikmati. Orang yang dengan terpaksa mengonsumsi makanan yang haram karena keadaan darurat pengobatan tidak boleh menikmati makanan haram itu. Kalau dinikmati, status kedaruratannya menjadi tidak ada nilainya.

Ketiga; berobat secukupnya. Terpaksa berobat dengan makanan yang haram hanya dibenarkan jika terbatas pada dosis yang telah ditoleransi dokter. Berlebihan dalam mengonsumsi yang haram karena alasan pengobatan sama saja dengan melanggar ketentuan kedaruratan itu sendiri.

Keempat; terbukti manjur secara mutlak. Obat haram yang dianggap menyembuhkan harus sudah terbukti khasiatnya. Dengan kata lain, sifatnya bukan coba-coba atau bereksperimen.

Merujuk keempat ketentuan itu, baik dari ulama yang mengharamkan berobat dengan sesuatu yang haram maupun yang membolehkan, dapat ditarik titik temu bahwa memilih pengobatan halal didahulukan dari memilih pengobatan yang haram. Bahkan, baik ulama yang mengharamkan maupun yang membolehkan sepakat, selagi masih ada pengobatan dari sesuatu yang halal tidak boleh alias terlarang menggunakan sesuatu yang haram untuk tujuan pengobatan. Wallahu a’lam.

*Pertanyaan seputar Fikih Kuliner, silahkan dikirim melalui WhatsApp: 081347014686.