Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (2)

Masjid Jami' Al-Huda yang penuh kenangan. (Badiatul Muchlisin Asti)

Pagi-pagi di hari Sabtu (22/4/2023), kami sudah antre mandi. Pengumunan dari takmir masjid selepas salat Subuh tadi menyebutkan bahwa salat Idulfitri di Masjid Jami’ Al-Huda akan dilaksanakan tepat pukul 06.30. 

Saya berangkat bersama anak lelaki saya, Fathan Mubina. Saya mempersilakan anak saya untuk menuju ke dalam masjid, sementara saya lebih memilih salat di halaman masjid—tepatnya di depan gerbang masuk masjid. Jemaah salat Id memang meluber hingga ke halaman dan sepanjang jalan kampung depan masjid. 

Saya lebih memilih salat Id di luar karena suasana lebih segar. Terutama agar saya bisa leluasa bersapa bila bertemu dengan teman-teman masa kecil dulu. Saat itu, saya memang berjumpa dengan sejumlah teman masa kecil dan sempat bertegur sapa, bahkan bercengkerama sebelum salat Id dimulai.

Masjid Penuh Kenangan

Masjid Jami’ Al-Huda didirikan jauh sebelum saya lahir oleh Kiai Muhammad Sidi—adik kandung kakek saya, Simbah Marto Dipuro Sirin. Masjid yang sangat lekat dengan kehidupan masa kecil saya. Banyak kenangan tertoreh di masjid ini. Di masjid inilah pertama kali saya belajar mengaji, sejak mengenal huruf hijaiyah hingga bisa membaca Alquran dengan baik. 

Jemaah salat Idulfitri meluber hingga ke jalan. (Badiatul Muchlisin Asti)

Selama tiga tahun, saat saya duduk di bangku MTs (Madrasah Tsanawiyah)—setingkat SMP, setiap malam saya dan sejumlah teman tidur (menginap) di masjid ini. Ketika itu, saya bersekolah di dua tempat. Pagi hingga siang sekolah formal di MTsN Wirosari, lalu malam hari usai magrib sekolah nonformal di Madrasah Diniyyah Habibiyyah di Dusun Jatisari, Desa Tambakselo—berjarak sekitar 6 kilometer dari kampung saya.

Saya nglajo (pulang-pergi) naik sepeda bersama teman-teman menuju ke madrasah. Berangkat sebelum magrib, tiba di sana tepat waktu salat Magrib tiba. 

Sepulang dari madrasah—sekitar pikul 20.00 atau 21.00, mampir ke rumah sebentar menaruh tas, kemudian menuju masjid. Bila sekolah pagi libur, apalagi saat purnama, kami biasa mengisi waktu malam dengan bermain. Permainan favorit kami antara lain sepak bola dan gobag sodor. Tempat bermainnya di halaman belakang madrasah yang masih satu kompleks dengan masjid.

Saya tidak lagi jadi “anak masjid” alias tidak lagi tidur di masjid selulus dari MTs, karena saya meneruskan mondok (studi di pesantren) di daerah lain. Namun kenangan bersama teman-teman menginap di masjid sungguh sangat membekas di ingatan saya. 

Meski bangunan masjid kini telah berubah karena pembangunan, dan sudah tidak ada lagi anak-anak yang menginap di masjid, namun keceriaan masa kecil yang sangat menyenangkan sebagai “anak masjid” tak akan pernah terlupakan. 

Ambengan dan Foto Keluarga

Salah satu tradisi di masjid-masjid kampung di Jawa adalah melakukan doa bersama untuk leluhur yang sudah meninggal dunia setelah pelaksanaan salat Id. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Tak terkecuali di Masjid Jami’ Al-Huda, tradisi itu masih tetap dilestarikan hingga kini.

Keluarga besar bani H. Ahmad Syahudi dalam formasi lengkap. (Badiatul Muchlisin Asti)

Dalam tradisi itu, masing-masing keluarga membawa ambengan—hidangan berupa nasi dan lauk pauk yang ditaruh di nampan, baskom, atau tampah. Biasanya, ambengan berupa nasi, dengan lauk pauk meliputi mi goreng, kering tempe, urap sayur, tempe goreng, tahu goreng, telur (rebus atau dadar), ayam goreng, dan lain sebagainya. Setiap keluarga membawa ambengan dengan menu khas masing-masing.

Bagi yang tidak membawa ambengan, jangan khawatir, karena yang bawa ambengan akan rela berbagi dengan yang tidak membawa ambengan.

Saya sebenarnya mau ikut acara ini seusai salat Id. Sudah kangen suasana makan bareng seperti ini di masjid. Tapi, baru saja acara hendak dimulai, anak saya Bina menjawil saya dan membisiki bahwa saya sudah ditunggu keluarga di rumah.

Saya pun bergegas pulang. Ternyata memang di rumah telah berkumpul semua anggota keluarga di ruang tamu. Saya sendiri yang belum hadir sehingga ditunggu. 

Alhamdulillah, lebaran tahun ini saya dan kedua adik saya bisa mudik. Sehingga keluarga besar bani H. Ahmad Syahudi dan Hj. Sunarti—nama bapak dan ibu saya—tahun ini bisa berlebaran bersama.  

Selama ini memang bapak dan ibu hanya tinggal berdua. Kami ketiga anaknya tinggal di luar daerah. Saya yang paling tua, meski tinggal di lingkup satu kabupaten, namun cukup jauh karena rumah orangtua berada di ujung timur kabupaten, sedang rumah saya di ujung barat kabupaten.

Sedang kedua adik saya, yang laki-laki tinggal di Jogjakarta; dan yang perempuan—yang ragil—lebih jauh lagi, tinggal di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Karena itu, kumpul bersama, termasuk di momen lebaran, adalah momen langka yang musti diabadikan. Karena itu, setelah saling berhalalbihalal, kami pun mengabadikan momen langka ini dengan foto bersama dengan formasi lengkap.  

Silaturahmi Keliling Kampung

Momen paling berkesan dari seluruh rangkaian selebrasi lebaran di kampung halaman adalah saat silaturahmi keliling kampung ke seluruh rumah saudara dan tetangga. Acara yang sering kami sebut dengan istilah balal—mungkin singkatan dari halalbihalal—itu, sungguh melelahkan secara fisik, karena harus jalan kaki dari rumah ke rumah ke seluruh rumah saudara dan tetangga.

 

Momen mengasyikkan silaturahmi jalan kaki ke rumah saudara dan tetangga. (Badiatul Muchlisin Asti)

Namun lelah fisik itu terbayar oleh kepuasan psikologis karena bertemu dengan wajah-wajah ramah dan sumringah serta bisa saling maaf-memaafkan di momentum lebaran.

Di kampung halaman saya, tradisi balal ke rumah saudara dan tetangga ini masih tetap lestari hingga kini. Di lebaran pertama, kami berombongan keluarga besar bani Marto Dipuro Sirin mengunjungi rumah-rumah saudara dan tetangga untuk balal.

Target kunjungan adalah ke seluruh rumah di lingkup Rukun Tetangga (RT). Selebihnya adalah ke rumah-rumah yang masih memiliki hubungan keluarga—biasanya berusia lebih tua. 

Karena banyak rumah yang harus kami kunjungi, maka kami sangat ketat mengatur waktu. Hanya berbicara seperlunya lalu pamit. Kecuali di rumah sesepuh—orang yang kami hormati, kami berkunjung relatif agak lama. Karena selain ada prosesi balal—meminta maaf—yang diwakili oleh ketua rombongan yang ditunjuk, juga ada sesi minta doa, nasehat, dan berbincang sekedarnya.

Tradisi balal ke rumah-rumah ini biasanya hanya sampai waktu zuhur. Kemudian dilanjut sore dan malam hari, namun dilakukan sendiri-sendiri alias tidak lagi berombongan sesuai kebutuhan target kunjungan dan silaturahmi masing-masing.

Menikmati Lontong Opor Yu Mi

Salah satu yang berkesan saat balal adalah saat berkunjung ke rumah Yu Mi—saudara sepupu saya, anak mbarep salah satu almarhum budhe (kakak kandung ibu saya). Rumahnya lumayan jauh bila ditempuh dengan jalan kaki.

 

Balal di rumah Yu Mi disediakan menu opor dan bestik entog yang lezat. (Badiatul Muchlisin Asti)


Lontong opor entog Yu Mi yang lezat. (Badiatul Muchlisin Asti)

Dari rute balal kami, kami harus memutar arah menuju ke selatan, lalu belok ke barat untuk sampai ke rumah Yu Mi. Biasanya waktu sampai rumah Yu Mi, hari sudah amat siang—hendak memasuki waktu zuhur. Perut kami sudah mulai keroncongan meski di setiap rumah yang kami singgahi menyediakan banyak kue lebaran.

Dan seperti biasa, Yu Mi menyediakan hidangan yang segera kami santap bersama. Seperti biasa pula, menunya adalah lontong opor yang lezat. Tapi kali ini ada pilihan sayur asem ayam dan bestik entok yang tak kalah menggoda lezatnya. 

Seusai makan, dan perut pun kenyang, sejurus kemudian kami segera berpamitan dan meneruskan balal yang tinggal beberapa rumah saja. Seterusnya kami lanjutkan balal-nya di sore dan malam hari. 

Begitulah rangkaian selebrasi lebaran di kampung halaman saya. Penuh keceriaan dan sangat menyenangkan. Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdziban. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Selesai)