Mengungkap Asal-usul Kuliner Indonesia

Tribun Jateng, edisi Minggu, 11 Desember 2022

Indonesia adalah negeri yang memiliki khazanah kuliner yang melimpah dengan jumlah ribuan. Setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke, hampir bisa dipastikan memiliki senarai kuliner khas masing-masing. Di antara kuliner-kuliner itu ada yang sangat ikonik dan populer hingga pentas nasional, bahkan internasional. Seperti rendang (Minang), pempek (Palembang), nasi lengko (Cirebon), sate kambing batibul dan balibul (Tegal), bir pletok (Betawi), gudeg (Jogjakarta), lumpia (Semarang), dan banyak lagi.

Setiap kuliner memiliki jejak sejarah masing-masing, di antaranya terkait asal-usul nama, kreator pertama, inspirasi yang bisa dipetik, dan filosofi yang terkandung dalam kuliner tersebut. Dalam konteks ini, buku berjudul Riwayat Kuliner Indonesia: Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi karya Badiatul Muchlisin Asti ini sangat menarik untuk dibaca. 

Buku ini menyadarkan kita bahwa kuliner tidak sekedar persoalan cita rasa, enak dan tidak enak, mak nyus dan tidak mak nyus. Lebih dari itu, setiap kuliner punya jejak sejarah panjang yang bisa kita telusuri—bagaimana dulu para leluhur kita mengkreasi sebuah makanan dari bahan pangan lokal yang bisa kita nikmati hingga hari ini.

Jejak perjalanan kuliner itu sendiri adakalanya murni merupakan eksperimentasi dari kreasi atas aneka bahan pangan lokal. Namun juga tak sedikit yang merupakan hasil akulturasi antar budaya, sebagai konsekuensi logis pergumulan antar masyarakat yang berbeda latar belakang budaya. Kedatangan orang-orang Tionghoa, Eropa, Arab, India dan lain-lain ke Indonesia, misalnya, sangat mempengaruhi budaya kuliner lokal masyarakat Indonesia.

Sehingga kini kita mengenal kuliner-kuliner yang sudah populer sebagai kuliner khas Indonesia, namun sejatinya entitas kuliner itu tidak serta merta indigenous Indonesia. Misalnya bakpia, onde-onde, wedang ronde, tahu pong, asem-asem, lumpia, dan swike, selama ini kita mengenalnya sebagai kuliner-kuliner khas dan (seolah) asli Indonesia. Padahal kuliner-kuliner itu berasal dari tradisi dapur Tionghoa yang sudah berakulturasi dengan budaya kuliner lokal Indonesia.


Buku ini menarik karena setiap kuliner ikonik dibahas asal-usul dan riwayatnya. Misalnya gudeg yang sudah ada sejak pendirian kota Jogjakarta. Kata gudeg diambil dari cara membuatnya, yaitu hangudeg (diaduk-aduk). Begitu juga rendang yang berasal dari proses mengolahnya, yaitu marandang—memasak santan hingga kering secara perlahan. Lalu, pempek khas Palembang diambil dari panggilan pembeli kepada penjualnya “apek...apek”, dan sebagainya.

Termasuk tokoh-tokoh legendaris yang memiliki peran penting  sebagai kreator pertama yang memperkenalkan suatu kuliner juga diulas. Sehingga banyak inspirasi yang bisa diserap oleh pembaca. Tokoh-tokoh itu antara lain Soleh Sukarno (soto Bangkong Semarang), Mbok Berek (ayam goreng Kalasan), Kong Giring (swike Purwodadi), Slamet Raharjo (bebek goreng Kartasura), Ny. Ang Bie (ayam panggang Klaten), H. Sanpirngad (getuk goreng Sokaraja), Auw Liek Nio (roti kecik Solo),  Lim Hwa Youe (sate buntel Solo), Mbah Ambyah (sate klatak Jogjakarta), dan sebagainya.

Sejumlah fenomena dan budaya kuliner yang (pernah) berkembang di dunia kuliner Indonesia juga tak luput dari pembahasan riwayatnya di buku ini, seperti rijsttafel—perjamuan Eropa warisan kolonial Belanda, maraknya rumah makan Padang yang “menggurita” di berbagai kota di Indonesia, dan budaya prasmanan yang saat ini masih banyak dijumpai di Indonesia,  yang ternyata berasal dari budaya kuliner Prancis.

Membaca buku ini, seperti yang dinyatakan oleh Farisi Faris—redaktur Nolesa, kita tidak hanya diajak mengenal beragam kuliner Nusantara yang masih eksis sampai kini. Lebih dari itu, kita diajak bertamasya ke “dimensi sejarah” di mana berbagai kuliner itu awal mula ada.

Kelemahan buku ini—kalau bisa disebut kelemahan, terletak pada pembahasan riwayat yang tidak semuanya berbasis fakta sejarah yang sudah banyak diriset oleh para peneliti sejarah kuliner. Namun juga berbasis story atau cerita tutur yang sulit diverifikasi dan divalidasi. Namun “kelemahan” itu sekaligus juga bisa menjadi “kelebihan”. Cerita-cerita tutur itu bisa menjadi pengisi kekosongan dan pengayaan literasi pada sejumlah kuliner ikonik Indonesia.  


Judul: Riwayat Kuliner Indonesia, Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi
Penulis: Badiatul Muchlisin Asti
Penerbit: Hanum Publisher
Terbit: 2022
Tebal: xii + 400 halaman
ISBN: 978-623-7725-206

*Peresensi: Laela NS, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Artikel resensi ini dimuat di Tribun Jateng, edisi Minggu, 11 Desember 2022.    

____________________________________________________

Buku "Riwayat Kuliner Indonesia: Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi" dapat diperoleh dengan menghubungi WhatsApp: 0857 4220 8552 atau 081347014686. Atau via Shopee: Rumah Pustaka BMA