Meneroka Jejak Sejarah Kuliner Indonesia

Buku "Riwayat Kuliner Indonesia" karya Badiatul Muchlisin Asti diterbitkan CV. Hanum Publisher, 2022.

Harus diakui, Indonesia memiliki khazanah kuliner Indonesia yang sangat kaya dan beragam. Setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke, memiliki kekayaan kuliner khasnya masing-masing, yang tercipta dari olah pangan lokal, juga berasal dari tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat setempat.

Seiring dengan kedatangan orang-orang Tionghoa, Eropa, Arab, India, dan lainnya ke Indonesia—dengan  berbagai kepentingan, menimbulkan persinggungan budaya, termasuk budaya kuliner, yang makin memperkaya khazanah kuliner Indonesia.

Tak sedikit, bahkan sangat banyak, kuliner yang sekarang populer sebagai makanan khas Indonesia, namun sejatinya, entitasnya berasal dari kuliner bangsa lain. Kuliner-kuliner itu tercipta setelah berakulturasi dengan tradisi kuliner lokal, seperti bakso, bakpia, bakmi, soto, sup, dan lain sebagainya.

Dalam konteks itu, buku berjudul “Riwayat Kuliner Indonesia: Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi” (terbit tahun 2022 oleh CV. Hanum Publisher) karya Badiatul Muchlisin Asti ini sangat menarik dan kontekstual untuk dibaca dan disimak karena di dalamnya mengupas jejak sejarah sejumlah kuliner ikonik Indonesia.

Ada 80 kuliner ikonik Indonesia yang dikupas di buku ini seperti rendang (Minang), pempek (Palembang), nasi kebuli (Betawi), seblak (Bandung), nasi lengko (Cirebon), gudeg (Jogjakarta), soto bangkong (Semarang), nasi pindang (Kudus), se’i (NTT), nasi krawu (Gresik), sate buntel (Solo), dan banyak lagi.

Setiap kuliner dibahas riwayatnya, terutama asal-usulnya. Tidak hanya menjejaki “genealogi” (asal-usul), namun juga mengulas tokoh atau sosok yang pertama kali meng-create—atau setidaknya memperkenalkan dan atau memelopori sebuah kuliner, sehingga dapat eksis dan bisa dinikmati masyarakat hingga saat ini. Kuliner-kuliner itu telah terbukti “berhasil” melintasi zaman, diwariskan dari generasi ke generasi, hingga nama sang tokoh pun dikenang sebagai legenda di bidang kuliner.


Perjalanan seorang tokoh dalam memelopori sebuah kuliner seringkali menghadapi banyak halangan, pahit-getir, dan suka-duka, yang rangkaian kisah perjalanan itu sarat inspirasi yang bisa menjadi sumber keteladanan bagi pembaca. Misanya terkait dengan kerja keras, ketekunan, kegigihan, semangat pantang menyerah, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, buku ini mengulas tentang riwayat soto bangkong—salah satu soto populer dan legendaris di kota Semarang. Soto ini dirintis oleh Haji Soleh Soekarno sejak tahun 1950. Soleh Soekarno sendiri berasal dari keluarga miskin di Sukoharjo.

Ia merantau ke Semarang merintis soto yang kelak populer dengan nama Soto Bangkong tahun 1949. Sebelumnya sempat bergonta-ganti pekerjaan sebagai pedagang keliling, seperti berjualan bolang-baling, berjualan es, berjualan tempe, berjualan gaplek, bahkan berjualan soto seperti ayahnya.

Namun rupanya “nasib baik” belum berpihak kepadanya. Bahkan ia sempat mengalami kondisi terpuruk, kondisi keluarganya sakit-sakitan, dengan kehidupan ekonomi tidak menentu. Namun, ia tetap sabar dan optimis. Tahun 1950, atas sebuah “bisikan”,  ia merantau ke Semarang dengan berjalan kaki, lalu ikut bekerja di warung soto milik kenalan ayahnya.

Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk berjualan soto sendiri dengan memikul angkring keliling kota Semarang. Tak butuh waktu lama, usahanya berkembang. Bertahun kemudian ia dapat membeli tanah dan membangun rumah yang kemudian menjadi pusat sotonya hingga saat ini. Saat Soleh Soekarno meninggal dunia pada Maret 2017 lalu, masyarakat Semarang mengenangnya sebagai tokoh kuliner Semarang dan pendiri Soto Bangkong yang sangat legendaris.

Selain Soleh Soekarno dengan soto bangkongnya  yang sangat inspiratif, buku ini juga “merekam” kisah-kisah inspiratif tokoh kuliner lainnya seperti Haji Slamet Raharjo dengan Bebek Goreng Haji Slamet-nya yang kawenter, Haji Sanpirngad yang disebut-sebut sebagai kreator pertama getuk goreng yang populer sebagai oleh-oleh khas Banyumas, Kong Giring pelopor swike yang tersohor sebagai kuliner khas Purwodadi, Auw Liek Nio yang membuat roti kecik sebagai oleh-oleh legendaris khas Solo, Mbah Ambyah sebagai kreator pertama sate klatak khas Jogjakarta, dan tokoh-tokoh kuliner lainnya.

Tak semua kuliner bisa dijejaki tokoh kreator dan pelopornya, karena sangat banyak kuliner Indonesia yang telah eksis sejak berabad-abad lampau yang jejaknya (hanya) bisa diendus melalui naskah-naskah kuno, prasasti, maupun cerita-cerita babad. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai “produk komunal” khas dari daerah tertentu. Seperti gudeg khas Jogjakarta dan rendang khas Minang.

Buku setebal 400 halaman dengan sampul keras (hardcover) ini sangat menarik sebagai pengayaan pengetahuan tentang riwayat kuliner Indonesia yang ternyata memiliki jejak sejarah yang sangat panjang. Setiap kuliner di buku ini diulas dari sisi proses penciptaan, penamaan, tokoh, inspirasi, maupun filosofi di baliknya.

Baru 80 kuliner ikonik Indonesia yang “terakomodasi” di buku ini—di antara ratusan bahkan ribuan kuliner khas Indonesia lainnya. Karena itu, sebagaimana yang dinyatakan penulisnya di kata pengantar buku ini, buku ini merupakan seri pertama yang diproyeksikan akan disusul seri-seri selanjutnya. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapapun yang ingin meneroka jejak sejarah pelbagai kuliner Indonesia yang telah melewati proses perjalanan historis yang sangat panjang.

*Laela NS, alumnus Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Tulisan ini telah tayang di Ayo Bandung, edisi Jumat, 11 November 2022.

________________________________________________

Buku "Riwayat Kuliner Indonesia: Asal-usul, Tokoh, Inspirasi, dan Filosofi" dapat diperoleh dengan menghubungi WhatsApp: 0857 4220 8552 atau 081347014686. Atau via Shopee: Rumah Pustaka BMA