Saya, Menyanyi, dan Cover Lagu (1)

Saat rekaman untuk cover lagu Bidadari Surga-nya Ust. Jefri Al-Buchori.

Saya akui, sejak kecil saya suka lagu—sekadar sebagai penikmat. Dan sebagai anak kamso (kampungan dan ndeso), memori saya tentang lagu-lagu yang saya sukai sumbernya adalah radio dan televisi (baca: TVRI) yang memang merupakan sumber utama hiburan ketika itu.

Masa kecil dan remaja saya lakoni pada rentang masa tahun 1980-an dan 1990-an. Soal lagu, saya tidak memfavoritkan genre lagu tertentu. Asal nadanya asyik dan syairnya syahdu—mengena di hati saya, saya suka. Karena itu, saya punya banyak memori lagu-lagu favorit secara pribadi lintas genre, baik dangdut, pop, dan nasyid—yang dulu diwakili oleh Nasida Ria Semarang.

Sampai sekarang, saya masih banyak hafal dan mampu mendendangkan sebagian besar lagu-lagu dangdut favorit saya—kebanyakan lagu-lagu yang dibawakan Evi Tamala seperti Lilin-lilin Putih, Luka di Atas Luka, Sedingin Salju, Selamat Malam, Rembulan Malam, Senandung Rembulan, Kandas, dan sebagainya.

Harus saya akui, di antara pedangdut yang lagunya banyak (tidak semua) saya favoritkan adalah Evi Tamala. Sedang pedangdut lain hanya lagu-lagu tertentu saja seperti Ine Sinthya saya suka lagunya yang berjudul Memori Daun Pisang dan Prasangka; Ikke Nurjanah Cinta dan Dilema;  Cici Paramida Wulan Merindu; dan sebagainya.

Untuk pedangdut pria, Rhoma Irama-lah yang harus saya sebut. Pasalnya, saat saya kecil, dua orang kakak sepupu saya yang tinggalnya sebelah rumah, sangat menyukai lagu-lagu Rhoma Irama. Kata mereka kepada saya ketika itu, ibarat pepatah “tidak ada rotan, akar pun jadi”— lagu-lagu Rhoma Irama adalah rotan, dan lagu-lagu penyanyi lainnya adalah akar. Begitulah mereka mengibaratkan posisi Rhoma di hati mereka dibanding pedangdut lainnya.

Meski demikian, sebagaimana penyanyi lainnya, tak semua lagu-lagu Rhoma saya suka. Hanya beberapa lagu saja seperti Raib, Tabir Kepalsuan,  Pertemuan, dan Bahtera Cinta. Saya memang cenderung menyukai lagu-lagu bertema roman. 


Lagu Pop, Sejak Tito Sumarsono Hingga Poppy Mercury

Sebagaimana dangdut, saya juga tidak fanatik pada penyanyi pop tertentu. Saya menyukai lagunya—yang nada dan syairnya pas meresap di hati saya. Makanya, saya punya memori lagu-lagu tertentu yang saya suka dari banyak lagu pop lawas yang populer ketika itu.

Saya hafal dan suka lagu-lagu seperti Di Puncak Bukit Hijau-nya Jayanthi Mandasari; Maria-nya Julius Sitanggang; Kisah Kasih di Sekolah-Nya Obbie Messakh; bahkan hafal trilogi lagu Hati yang Luka karangan Obbi Messakh meliputi Hati yang Luka (dinyanyikan Betharia Sonata), Penyesalan (jawaban untuk lagu Hati yang Luka, dinyanyikan Obbie Mesakh sendiri) dan  Tiada Duka Lagi (dinyanyikan duet Betharia Sonata dan Obbie Mesakh).

Selain itu ada lagu-lagu yang populer setelahnya yang saya suka antara lain: Aku Sayang Kamu-nya Cindy Claudia Harahap; Cintaku Tak Terbatas Waktu-nya Annie Carera, dan Kasih-nya Ismi Aziz. Lalu, lagu-lagu yang didendangkan Poppy Mercuri seperti Pelangi Cinta, Tragedi Antara Kuala Lumpur – Penang,  Antara Jakarta dan Penang, Surat Undangan, Hati yang Luka, Terlambat Sudah, dan lainya.

Lagu-lagu pop lainnya yang saya suka: Untukmu dan Tuhan Tolonglah-nya Tito Sumarsono, Dinda di Mana-nya Katon Bagaskara, dan Sanggupkah Aku-nya Andy Liany. Untuk lagu-lagu yang dibawakan group musik, favorit saya antara lain: Kangen-nya Dewa 19, Tataplah-nya Cool Colour, Bukan Pujangga-nya Base Jam, Yogyakarta-nya Kla Project, Cerita Cinta-nya Kahitna, Mungkinkah dan Cinta Suci-nya Stinky, dan lain sebagainya.

Nasida Ria, Kenangan Bersama Bapak

Nasida Ria, group kasidah legendaris dari Semarang.

Adapun lagu-lagu nasyid--tepatnya kasidah, tak banyak ketika itu. Yang saya kenal hanya Nasida Ria Semarang yang sangat populer di masa kecil saya. Bapak saya yang secara tidak sengaja memperkenalkannya. Di rumah, bapak sering memutar lagu-lagu Nasida Ria dari radio tape yang beliau punya.

Dari situlah, saat bapak memutar kaset Nasida Ria, mau tak mau, saya ikut mendengarkannya dan sebagian secara tak sadar saya hafal liriknya. Lagu-lagu Nasida Ria seperti Jilbab Putih, Tahun 2000, Kota Santri, Perdamaian, dan lain-lain, sangat akrab di telinga saya dan sangat memorable.

Lagu-lagu Nasida Ria tak melulu religi, tapi juga ada yang bertema roman cinta, di antaranya yang sangat saya hafal ketika itu adalah sebuah lagu berjudul Tergila-gila, penggalan syairnya sebagai berikut:

Seindah-indah bulan purnama, lebih indah wajahnya

Semanis-manisnya madu, lebih manis senyumnya

Duh aduh aku tak tahan, kala ia memandangku

Hati rasa begetar, berdenyut-denyut jantungku

Dia tersenyum mesra, dengan ramah menyapaku

Bingung bingung, aku bingung, tersipu malu  

Boleh dikata, ketika itu, Nasida Ria merupakan satu-satunya group musik religi yang paling masyhur. Sebagai anak yang lahir dari keluarga dengan iklim religius, mau tidak mau, saya mengenal lagu-lagu Nasida Ria yang hingga saat ini masih direproduksi juga dicover oleh banyak group-group  musik religi.

Ketika itu, lagu-lagu religi dari Nasida Ria banyak diputar saat pesta hajatan warga, terutama di perdesaan, antara lain di acara mantenan atau walimatul ‘ursy. Syahdunya ketika itu....

Menggemari Nasyid

Tahun-tahun terakhir di pengujung tahun 1990-an, saya mulai menyukai lagu-lagu religi atau nasyid dengan tema religi yang lebih kental yang booming ketika itu, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Genre nasyid inilah yang sangat membekas di hati saya, yang berpuluh tahun kemudian ketika pageblug Covid-19 mengguncang dunia dan masyarakat harus stay at home, saya merasa perlu ada hiburan, salah satunya menyalurkan “hobi terpendam” saya, yaitu: menyanyi.

Lagu nasyid yang saya pilih. Kenapa saya memilih nasyid? Apa dan bagaimana saya kemudian “memberanikan diri” mengcover lagu nasyid? Simak di tulisan berikutnya ya. (Bersambung).