Nasi Padang Babi dan Falsafah Hidup Minang

 

Dunia kuliner Indonesia dihebohkan dengan viralnya sebuah restoran yang menawarkan menu nasi Padang babi. Restoran bernama Babiambo itu sempat mempromosikan nasi Padang babi-nya di media sosial Instagram.

Sontak viralnya postingan nasi Padang babi itu mencuatkan pro dan kontra yang cukup tajam di tengah masyarakat. Ada yang membela, toh kata Babi disematkan, sehingga target market usaha kuliner itu jelas. Juga, ada yang bilang, masakan tidak punya agama, sehingga boleh dimasak dengan bahan apapun, termasuk dengan bahan nonhalal.

Ada pula yang mengkritik bahkan mengecam keras, karena nasi Padang babi bertentangan dengan filosofi budaya masyarakat Minang yang identik dengan syariat Islam. Kecaman terutama datang dari komunitas masyarakat Minangkabau. Nasi Padang babi dianggap melecehkan falsafah hidup masyarakat Minang.

Bagi saya, pro dan kontra itu wajar mengingat bahwa di masa lalu fenomena persentuhan budaya kuliner di Indonesia merupakan sesuatu yang jamak terjadi. Tak sedikit kuliner Indonesia yang sejatinya merupakan adaptasi dan akulturasi dari budaya kuliner bangsa lain.

Kehadiran orang-orang Arab, Eropa, Tiongkok, India, dan lainnya, ke Indonesia di masa lalu, harus diakui turut membentuk karakter budaya kuliner Indonesia. Kehadiran orang-orang Tiongkok misalnya, telah menyumbang khazanah kuliner Indonesia seperti bakpia, bakso, soto, lumpia, kue keranjang, wedang ronde, dan sebagainya.

Pelbagai kuliner itu tentu telah mengalami akulturasi (dan “halalisasi”) karena beradaptasi dengan budaya kuliner lokal. Bakpia misalnya, ketika dibawa pertama kali oleh imigran Tiongkok ke Jogjakarta masih menggunakan isian daging babi. Tapi kemudian agar laku di pasaran, karena mayoritas masyarakat Jogjakarta adalah muslim, maka isian babi itu diganti dengan isian halal berupa kacang hijau.

Fenomena itu jamak terjadi dan proses itu berlangsung dengan baik tanpa gejolak ketika itu. Tapi ketika sekarang muncul nasi Padang babi, kenapa muncul pro dan kontra? Kenapa muncul kritik dan kecaman? Tidak bolehkah membuat rendang yang khas Minang itu misalnya dengan mengganti dagingnya dengan daging nonhalal?

Soal ini, setidaknya ada dua hal yang bisa saya kemukakan: Pertama; umat Islam—sebagai populasi terbesar di Indonesia—sejauh ini memang sangat sensitif dengan persoalan pangan, terutama menyangkut halal dan nonhalal. Bisa dimaklumi mengingat doktrin Islam memang mengatur dengan relatif ketat terkait pangan yang harus dikonsumsi—yaitu berdasarkan kehalalannya.

Karena itu pula pada tahun 1989, di Indonesia didirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)—sebagai lembaga yang diberi otoritas penuh mengeluarkan sertifikat halal pada sebuah produk.

Meski kini kewenangannya “diambil alih” oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Keagamaan RI, tapi sejarah berdirinya LPPOM MUI dulu tak bisa dilepaskan dari upaya membentengi umat Islam dari produk-produk yang tidak halal di pasaran.  

Kedua;  meski persoalan halal dan nonhalal sangat sensitif bagi umat Islam, namun bukan berarti umat Islam tidak toleran dengan umat agama lain soal pangan. Adalah fakta bahwa banyak warung dan rumah makan yang menyediakan menu-menu nonhalal, tapi tetap bisa eksis di berbagai daerah. Karena umat Islam tahu captive market-nya beda dan jelas bukan untuk mereka.

Ketiga; menu-menu khas Minang seperti rendang merupakan produk final dari akulturasi budaya kuliner yang telah berlangsung ratusan tahun lalu—yang tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat Minang.   

Sehingga, kemunculan nasi Padang babi ini otomatis berbeda karena membawa atau menyematkan nama daerah—lebih tepatnya etnis yang selama ini sudah tercitrakan dengan baik sebagai etnis yang memiliki keidentikan dengan syariat Islam. 

Masyarakat Minangkabau—atau yang biasa disebut dengan Minang saja, memiliki aforisme atau falsafah hidup yang berbunyi: Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah”.

Aforisme inilah yang menjadi landasan pengamalan adat dan Islam dalam masyarakat Minang. Dalam arti, adat Minang harus berlandaskan syariat Islam, yang maksudnya tentu adalah berdasarkan Alquran dan Assunah.

Konsekuensi logisnya, menyandingkan nasi Padang dengan babi yang nonhalal akan cenderung menimbulkan gejolak dan masalah, karena bisa berarti melecehkan local wisdom masyarakat Minang yang selama ini  identik dengan syariat Islam—dengan jaminan nilai kehalalan pada setiap menu masakannya.

Murdijati Gardjito, dkk dalam buku Kuliner Minangkabau, Pusaka Nenek Moyang yang Pantas Disayang (2019) menyatakan, adat dalam kehidupan masyarakat Minang merupakan bentuk atau perilaku yang berasal dari proses pembelajaran dan pengetahuan dari alam dan syarak atau ajaran agama Islam. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Inilah salah satu filosofi hidup yang dipegang teguh sebagai landasan utama dalam nilai-nilai kehidupan oleh masyarakat Minangkabau dari dulu hingga kini.

Lantas apakah dengan demikian tidak boleh memasak rendang dan menu khas Minang lainnya dengan mengganti dagingnya dengan daging nonhalal seperti babi? Pada prinsipnya, hemat saya, tidak ada larangan. Hanya saja, (seyogyanya) penggantian daging nonhalal itu tidak dikaitkan dengan Padang—sebagai representasi dari etnis Minang yang identik dengan syariat Islam. Dalam hal ini, rasa saling menghargai perlu dikedepankan, agar tidak timbul polemik yang berpotensi menimbulkan konflik berbau SARA.  

*Artikel dimuat di koran Duta Masyarakat, edisi Senin, 27 Juni 2022.