Mbah Bejo, Boyong Grobog, dan Sejarah Lokal Grobogan

Mbah Bejo atau bernama asli Heru Hardono dikenal sebagai pemerhati sejarah Grobogan. (Wahyu K)

Saya mengenal dan kemudian banyak berinteraksi dengan Mbah Bejo saat saya menahkodai komunitas Grobogan Corner. Mbah Bejo termasuk salah satu yang kami daulat menjadi penasehat Grobogan Corner.

Grobogan Corner sendiri—biasa kami singkat GC—adalah sebuah komunitas yang basis awalnya adalah media sosial (facebook) yang kemudian bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan sosial di dunia nyata. GC resmi didirikan melalui sebuah pertemuan kopi darat pertama yang diadakan di Warung Makan Mbak Mun Godong (depan SPBU)  pada Jumat (21/11/2014).

Saat pertemuan itu, saya didaulat menjadi ketua komunitas dan Dr. Suwignyo Siswodiharjo, Sp.OG ditunjuk sebagai ketua dewan pembina. Salah satu tujuan GC sejak berdirinya adalah menggali dan ikut serta mengembangkan potensi lokal Grobogan di berbagai bidang, seperti kuliner, pariwisata, sejarah, UMKM, dan lain sebagainya. Beberapa program yang (pernah) digulirkan GC antara lain: susur wisata, visit UMKM, dan bincang inspirasi.

Di GC, saya banyak berinteraksi dengan Mbah Bejo karena memiliki minat yang sama terkait dengan sejarah lokal Grobogan. Mengenal Mbah Bejo—yang bernama asli Heru Hardono, adalah sesuatu yang amazing. Bagi saya, Mbah Bejo adalah ensikopedi hidup tentang sejarah lokal Grobogan.

Mbah Bejo fasih bila bercerita tentang pelbagai tempat dan bangunan bersejarah di Kabupaten Grobogan. Berinteraksi dengan Mbah Bejo, saya mendapat banyak asupan informasi tentang Grobogan di masa lalu. Mbah Bejo sendiri adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil, tinggal di Gubug. Berlatar seorang guru sekolah dasar.

Pengetahuannya yang melimpah terkait sejarah lokal Grobogan ternyata berawal dari hobinya ngluyur atau kluyuran ke berbagai tempat—terutama saat masih aktif dulu, di seantero wilayah Grobogan. Tak sekedar kluyuran, namun di balik itu Mbah Bejo banyak menggali dan dan mencatat data sejarah—yang kemudian dipadukan dengan bahan pustaka—baik dari buku, majalah, maupun artikel di internet. Kekayaan data itulah yang menjadikan Mbah Bejo kritis terhadap narasi sejarah.

Mbah Bejo (kiri) setelah menerima penghargaan sebagai pemerhati sejarah Grobogan pada Pekan Raya Gubug (PRG) Jumat (13/9/2019). (Istimewa)

Di media sosial Facebook, Mbah Bejo membuat group bernama Kluyuran sebagai tempat ia berbagi cerita sejarah lokal Grobogan—di samping juga membuat blog dengan link akses: heruhardono.blogspot.com (sudah non-aktif).  Postingan di blog ini banyak menjadi referensi atau rujukan para penulis saat menulis cerita lokal Grobogan.

Tak berlebihan bila kiprah itu mendapat apresiasi. Beberapa tahun silam, tepatnya pada Jumat (13/9/2019), Mbah Bejo memperoleh penghargaan sebagai seorang pemerhati sejarah Grobogan pada acara Pekan Raya Gubug (PRG). Penghargaan diserahkan oleh Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Jawa Tengah, Sinoeng Nugroho Rachmad—yang ikut hadir pada acara tersebut.

Boyong Grobog

Salah satu yang mengejutkan saya adalah ketika Pemkab Grobogan menginisiasi gelaran tradisi yang dikaitkan dengan sejarah perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan—dari Grobogan ke Purwodadi—yang diberi nama Boyong Grobog. Bagi saya ketika itu, Boyong Grobog adalah gagasan genial sebagai daya tarik wisata baru sekaligus nguri-nguri sejarah.

Tapi tidak bagi Mbah Bejo. Suatu hari, ia tiba-tiba chat saya lewat inbox di Facebook. Di chat itu, intinya Mbah Bejo memberitahu saya bahwa gagasan Boyong Grobog adalah ahistoris. Ia tidak ada dalam perjalanan sejarah Grobogan.

Menurut Mbah Bejo, Boyong Grobog tidak ada dalam sejarah Grobogan—yang ada adalah perpindahan pusat pemerintahan. Nomenklatur “Boyong Grobog” karena itu tidak tepat dan ahistoris. Bila mengacu pada sejarah, yang tepat menurut Mbah Bejo, adalah “Boyong Projo”—karena yang terjadi adalah ‘sekadar’ perpindahan pusat pemerintahan, bukan nama kota yang dipindah.

Di sisi lain, asal-usul Grobogan sendiri, menurut Mbah Bejo, masih debatable alias belum pasti.  Apakah berasal dari Grobog berisikan senjata ataukah tempat menaruh binatang buruan yang tertangkap. Masih perlu diriset dan didiskusikan (lagi).

Apa yang disampaikan Mbah Bejo itu jujur mengagetkan saya sekaligus memantik hasrat saya untuk melakukan pembacaan secara kritis terkait sejarah Grobogan. Dari situlah kemudian kami terlibat diskusi cukup intens dan memutuskan untuk mempublikasi hasil diskusi kami.

Berita yang menyajikan statement Mbah Bejo tentang Boyong Grobog yang dimuat di Suara Merdeka, edisi Senin, (6/4/2015).

Koran akhirnya yang kami pilih, selain tentu media sosial Facebook sebagai basis awal gerakan kami di Grobogan Corner. Akhirnya, Suara Merdeka edisi  Senin (6/4/2015) memuat statement Mbah Bejo terkait Boyong Grobog dengan judul “Tradisi Perlu Dikaji Ulang: Tak Ada Boyong Grobog dalam Sejarah.”

Sepuluh hari kemudian, artikel opini saya terkait kritisisasi terhadap Boyong Grobog dimuat Suara Merdeka, edisi Kamis (16/4/2015) dengan judul “Landasan Boyong Grobog”—karena bagi kami, Boyong Grobog tidak memiliki pijakan sejarah yang kuat.

Tapi semua itu hanya angin lalu. Gelaran Boyong Grobog tetap berlangsung setiap tahun, hingga kini, tanpa edukasi. Banyak yang salah paham bahwa kritik kami terhadap gelaran Boyong Grobog sebagai sebuah penafian atau penolakan. Tidak. Sama sekali tidak.

Bagi saya, dan juga bagi Mbah Bejo, Boyong Grobog tetaplah ide genial dari sisi atraksi wisata--yang memang terbukti sangat magnetis menyedot masyarakat untuk menyaksikan. Namun, ide genial itu, gagasan keren itu, gagasan top abis itu, gagasan jos gandos itu, harus diikuti sosialisasi dan edukasi sejarah yang benar, agar masyarakat Grobogan, terutama generasi mudanya, tidak mendapatkan asupan sejarah yang distorsif.

Simak perbincangan hangat saya tentang Boyong Grobog dan Asal-usul Sejarah Grobogan dengan Mbah Bejo di Rumah Pustaka BMA yang saya kelola: