Benarkah Biawak Halal Dikonsumsi?

Biawak (atas) dan Dhabb (bawah), dua jenis binatang yang berbeda. 

Benarkan daging biawak halal dikonsumsi?

Seiring perkembangan zaman, dunia kuliner juga berkembang pesat. Banyak ragam kuliner yang ditawarkan, di antaranya menu yang diolah dari daging biawak. Daging biawak bisa diolah menjadi berbagai menu masakan seperti sate, sup, dan rica-rica. Namun bagaimana sebenarnya status hukum daging biawak, halal atau haram?

Banyak yang berpendapat akan halalnya daging biawak. Dalil yang menjadi landasan mereka menghalalkan biawak umumnya bersandar pada sejumlah riwayat hadits yang menyatakan kehalalan binatang dhabb. Di antaranya, dari Ibnu Abbas ra berkata, 

أُكِلَ الضَّبُّ عَلَى مَا ئِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

“Dhabb pernah dimakan (oleh para sahabat) dalam hidangan Rasulullah Saw.” (Muttafaq Alaih).

Menurut Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam—Syarah Bulughul Maram, hadits ini menjadi dalil yang membolehkan memakan dhabb dan inilah pendapat mayoritas ulama.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan, benarkah dhabb adalah biawak—yang biasa dijumpai di sejumlah daerah di Indonesia, terutama di Jawa?

Sejumlah buku terjemahan dari Bahasa Arab yang beredar di Indonesia kebanyakan menerjemahkan kata dhabb dengan biawak. Sehingga yang terjadi kemudian, riwayat hadits tentang dhabb dijadikan dalil kehalalan mengonsumsi daging biawak.

Padahal, bila ditelusuri, dhabb dan biawak adalah dua jenis hewan yang berbeda, baik konsumsi maupun habitasinya. Hanya sekilas penampakannya sama. 

Dhabb bukanlah binatang buas, sedang biawak—atau orang Jawa Tengah menyebutnya seliro, termasuk binatang buas (karnivora) yang dalam fiqh termasuk binatang yang haram dikonsumsi menurut jumhur ulama, sebagaimana hadits Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw bersabda:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

Setiap binatang buas yang mempunyai gigi taring haram dimakan.” (HR. Muslim)

Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-7 di Bandung pada tanggal 13 Rabiust Tsani 1351 H/9 Agustus 1932 M menyatakan, binatang biawak (seliro-Bhs. Jawa) itu bukan binatang dhabb, oleh karenanya maka haram dimakan. Keterangan, dalam kitab Al-Qulyubi ‘Alal Minhaj: “Binatang dhabb adalah binatang yang menyerupai biawak yang hidup sekitar tujuh ratus tahun. Binatang ini tidak minum air dan kencing satu kali dalam empat puluh hari. Betinanya mempunyai dua alat kelamin betina, dan yang jantan mempunyai dua alat kelamin jantan.” (Ahkamul Fuqaha, hlm. 119).

Wallahu a’lam bish-shawab.

*Pertanyaan seputar Fikih Kuliner, silahkan dikirim melalui WhatsApp: 081347014686.