Mudik dan Selebrasi Lebaran di Kampung Halaman (1)

Melihat meriahnya pawai takbir keliling. (Badiatul Muchlisin Asti)

Pakar psikologi komunikasi, mendiang Dr. Jalaluddin Rakhmat—atau yang akrab disapa Kang Jalal—dalam buku Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (1999) menyebutkan bahwa perjalanan mudik sebagai sebuah perjalanan melintas waktu. Mereka tengah membawa masa kini mereka ke masa lalu, supaya memperoleh kekuatan buat menempuh masa depan.

Dengan mudik, kata Kang Jalal lebih lanjut, orang-orang yang sudah kehilangan dirinya dalam hiruk pikuk kota, ingin menemukan kembali masa lalunya di kampung. Mereka yang dihitung sebagai angka dan skrup kecil dalam mesin raksasa kota, ingin kembali diperlakukan sebagai manusia.

Mereka ingin meninggalkan—walaupun sejenak—wajah-wajah kota yang garang, untuk menikmati kembali wajah-wajah kampung yang ramah. Mereka ingin mengungkapkan kembali perasaan kekeluargaan yang menyejukkan.

Perspektif Kang Jalal itulah yang benar-benar saya rasakan pada setiap kali mudik dan berlebaran di kampung halaman. Suasana desa yang tetap menampakkan denyut keakraban dan keramahan. Meski sejumlah tradisi tertentu mulai sirna digilas kemajuan zaman.

Kerinduan Lebaran di Kampung Halaman


Sejak menikah tahun 2003 dan meninggalkan kampung halaman, saya selalu berlebaran hari pertama di rumah sendiri. Karena selain biasanya ada jadwal menjadi khatib salat Id di masjid dekat rumah, juga hari pertama lebaran adalah momentum berhalalbihalal dengan keluarga besar istri. Baru sorenya, atau keesokan harinya, saya beserta istri dan ketiga anak saya, mudik ke kampung halaman saya di Dusun Beru, Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.  

Namun kerinduan terhadap selebrasi lebaran di kampung halaman, yang biasanya terjadi di hari pertama lebaran, menjadikan beberapa kali saya mengagendakan lebaran hari pertama di kampung. Sejak dua puluh tahun menikah (2003-2023) dan tinggal di kampung istri, baru empat kali saya berlebaran hari pertama di kampung halaman, yaitu lebaran tahun 2016, 2017, 2021, dan 2023.

Seperti biasa, tahun ini pun saya mengikuti keputusan pemerintah yang menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada hari Sabtu (22/4/2023). Hari Jumat pagi (21/4/2023), kami sudah meluncur menuju ke kampung halaman. Perjalanan hanya sekitar satu setengah jam—karena tak ada kemacetan berarti, bahkan jalanan cenderung sepi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang sangat padat oleh kendaraan pemudik.   

Kejutan dari Rubi dan ‘Reuni’ Dadakan

'Reuni' dadakan. Saya, Rubi (tengah), dan Sulipah. (Badiatul Muchlisin Asti)

Baru sekira setengah jam saya tiba di rumah orangtua di kampung, sesosok pria datang bertamu. Di depan pintu ia bilang, "Maaf, mau cari Pak Sin..."

Sin adalah nama panggilan saya di kampung. Saya sendiri yang menyambutnya, dan segera saya dapat mengidentifikasi siapa pria berkaos merah di hadapan saya itu. Ya, ternyata ia adalah Rubi Mulyono Seloaji, teman masa kecil saya saat SD, yang kini tinggal di Purwokerto.

Setelah sempat berkomunikasi di WAG alumni SD, ini untuk pertama kalinya saya bertemu fisik dengannya sejak sekitar tahun 1985. Rubi—begitu saya akrab menyapanya, adalah teman istimewa saya dulu di SD. Istimewa karena ia teman satu-satunya di kelas yang Cina dan non-muslim. Tapi perbedaan tak lantas membuat kami tidak akrab. Kami banyak merajut kenangan pertemanan masa kecil yang masih terus membekas di ingatan hingga kini.

Bagi saya, kedatangan Rubi persis saat saya baru saja sampai di rumah orangtua, merupakan sebuah kejutan. Surprise. Gara-gara itu kemudian kami meluncur ke rumah Sulipah—teman SD kami yang tinggal di kampung.

Lalu kami mengontak beberapa teman lainnya yang tinggal di kampung. Jadilah ‘reuni’ dadakan, meski yang hadir sangat terbatas. Dan sejenak kami pun bercengkerama, mengenang cerita-cerita masa kecil kami pada pertemuan itu bersama teman SD lainnya yang bisa hadir, yaitu: Parjan, Parwati, dan Siti.

‘Tidur’, Tradisi yang Mulai Dilupakan

Salah satu tradisi menyambut lebaran di masjid kampung halaman saya adalah ‘tidur’—yaitu  menabuh bedug dengan pukulan yang rancak sehingga menghasilkan nada yang enak didengar. Tidur ini sebagai penanda bahwa Idulfitri sudah tiba.

Tidur dimulai usai jemaah salat Ashar hingga menjelang magrib. Sering kemudian dilanjut setelah salat Maghrib untuk mengiringi alunan suara takbir yang bersahut-sahutan lewat corong masjid, sehingga suasana menjadi sangat syahdu.

Dulu, di masa kecil saya, tidur begitu magnetis. Membuat saya dan teman-teman berduyun-duyun datang ke masjid untuk melihat ‘atraksi’ tidur dengan dibarengi perasaan gembira karena sebentar lagi akan mengakhiri puasa dan menyambut lebaran yang pasti sangat menyenangkan.

Tapi seiring perkembangan zaman, tradisi tidur sudah mulai dilupakan. Orang-orang seperti sudah tak lagi peduli dengan tradisi ini. Seperti Jumat sore itu, seusai salat Ashar berjemaah di Masjid Jami’ Al-Huda—yang tak jauh dari rumah orangtua saya, saya menyaksikan tidur yang hanya berlangsung sebentar. Hanya sekitar 5 – 10 menit saja.

Tak ada anak-anak dan remaja yang datang seperti dulu. Tidur seolah hanya sekedar ada atau daripada tidak ada. Sementara orang-orang juga sudah tak lagi peduli ada atau tidaknya tradisi itu. Tabuhan bedug nan rancak itu pun seperti menembus sunyi. Tradisi tidur menyambut lebaran sudah mulai hilang dan dilupakan.

Menu Lontong Opor di Buka Puasa Terakhir    

Salah satu tradisi ibu saya dalam menyambut lebaran adalah menghidangkan menu lontong opor komplet nan lezat di momen buka puasa terakhir. Kelezatan hidangan ibu inilah yang melambai-lambai alias sering membuncahkan kerinduan tersendiri.

Hidangan lontong dan opor ayam buatan ibu yang selalu ngangeni. (Badiatul Muchlisin Asti)

Ibu sendiri yang menyiapkan hidangan itu. Seharian, meski sedang berpuasa, ibu berjibaku di dapur untuk memasak opor dan pelengkap lainnya. Kali ini dibantu adik perempuan saya yang tinggal di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) karena lebaran ini ia mudik bersama suami dan kedua anaknya. Lontongnya beli di Mbak Tin—keponakan ibu yang membuka warung lontong.

Saya selalu bersemangat melahap hidangan lontong opor yang dihidangkan ibu. Apalagi secara personal, saya memang sangat menyukai lontong yang disajikan dengan opor. Bagi saya, tekstur lontong yang lembut memang sangat cocok bila disantap dengan kuah opor yang gurih.

Selain opor, sayur tahu buatan ibu juga sangat favorit. Ibu memang selalu menyediakan dua pilihan sayur sebagai pelengkap menyantap lontong, yaitu opor ayam dan sayur tahu. Sayur tahunya diberi tambahan krecek. Paduan tahu dan krecek itulah yang membuat cita rasanya sangat gurih dan lezat. Sangat cocok juga sebagai teman menyantap lontong.

Opor ayam buatan ibu juga juara. Potongan lontong diguyur kuah opor yang gurih dan dibubuhi sambal krecek yang aduhai menggoda, lalu disantap dengan daging ayam yang sedap. Dilengkapi kerupuk udang yang gurih dan kriuk, benar-benar sajian lontong opor komplet ala ibu yang selalu ngangeni (bikin rindu).  

Menyaksikan Pawai Takbir

Salah satu kreasi peserta pawai takbir keliling yang menarik perhatian penonton. (Badiatul Muchlisin Asti)

Salah satu selebrasi menyambut lebaran yang sampai saat ini masih dilestarikan di kampung halaman saya adalah pawai takbir keliling kampung selepas salat Isya. Sejak kecil, saya selalu bersemangat menyaksikan selebrasi ini.

Ketika sudah beranjak besar, sebelum saya merantau ke daerah lain untuk studi dan menikah, saya mulai ikut pawai takbir. Setiap tahun, nyaris tidak pernah absen. Jalan kaki membawa obor keliling kampung—sembari melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid—bersama teman-teman, alangkah senangnya.

Dulu, pawai takbirnya sangat sederhana. Setiap peserta hanya membawa obor atau kami menyebutnya oncor yang terbuat dari bambu yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu yang terbuat dari kain tidak terpakai. Kami biasanya sudah ‘sibuk’ membuat oncor satu atau dua hari sebelum pawai diadakan.

Selebihnya ada pengeras suara untuk komando mengumandangkan takbir dan musik dari radio tape yang dibawa dalam becak atau mobil bak terbuka. Meski sangat sederhana, namun ketika itu suasananya sangat menyenangkan.

Pawai takbir masih dilestarikan hingga kini. Sempat absen selama pandemi COVID-19. Namun setelah virus Corona melandai, pawai takbir kembali digelar. Tahun ini pawai takbir kembali digelar dengan cukup meriah. Diikuti oleh rombongan perwakilan musala dan RT (Rukun Tetangga).

Masing-masing rombongan menyuguhkan penampilan terbaiknya—meski tidak dilombakan, di antaranya dengan membuat kreasi yang menarik seperti membuat replika Alquran raksasa, replika binatang, replika dinosaurus, sepeda hias, dan lain sebagainya. Tak lupa gema suara takbir terus beralun dari para peserta pawai.

Bagi saya, pawai takbir adalah salah satu bentuk ekspresi masyarakat muslim dalam upaya meluapkan kegembiraan setelah sukses menjalankan puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Sepanjang tanpa dibarengi sikap berlebih-lebihan dan perilaku tercela seperti menenggak minuman keras, pawai takbir sah-sah saja diselenggarakan dan dilestarikan sebagai sebuah tradisi baik. Apalagi banyak masyarakat yang menyaksikannya sebagai sebuah hiburan menyambut lebaran Idulfitri. (bersambung)