Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari
![]() |
Foto bersama juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro |
Foto di atas adalah jepretan
pada 9 Juni 2021 lalu saat saya bersama dengan juru kunci Makam Ki Ageng Tarub,
KRAT Hastono Adinagoro, di tempat yang konon merupakan tempat mandi 7 bidadari
sekaligus tempat pertemuan Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub muda) dengan Dewi
Nawangwulan yang kemudian menjadi istrinya.
Selain untuk keperluan konten channel YouTube saya Badiatul Muchlisin Asti, kunjungan saya menemui KRAT Hastono Adinagoro adalah dalam rangka menggali data tentang Ki Ageng Tarub, dengan harapan saya bisa mendapatkan data-data (baru) untuk "merekonstruksi" kisah Ki Ageng Tarub dalam konstruks yang (lebih) logis dan ilmiah.
Harus diakui, legenda “Jaka
Tarub dengan 7 Bidadari” yang sudah sangat populer di seantero negeri ini,
hingga saat ini masih menyisakan pertanyaan dan kontroversi. Pertanyaan yang
paling fundamental adalah benarkah Jaka Tarub menikah dengan bidadari?
Pertanyaan itu, sesungguhnya tidak penting ketika kisah "Jaka Tarub dan 7 Bidadari" itu disikapi
sebagai murni legenda atau folklor atau dongeng, yang 90% atau bahkan 95%
adalah mitos, yang seringnya memang tidak logis, sebagaimana legenda-legenda
lain yang banyak kita baca di buku-buku dongeng.
Namun pertanyaan itu, hemat saya, menjadi penting untuk dijawab dengan serius, karena sejauh ini sosok Jaka Tarub atau Ki Ageng Tarub diyakini sebagai sosok sejarah yang diagungkan dan makamnya banyak diziarahi. Sebagai sosok sejarah, maka alur kehidupannya harus "diselamatkan" dari mitos-mitos yang bertentangan dengan akal sehat, di antaranya adalah soal pernikahannya dengan bidadari.
Jaka Tarub Tidak Mencuri Selendang Bidadari
Enam tahun lalu, tahun 2015,
saat saya berkunjung ke Makam Ki Ageng Tarub bersama rombongan komunitas
Grobogan Corner (GC) yang saya ketuai, kami sempat terlibat perbincangan dengan
juru kunci makam Ki Ageng Tarub, KRAT Hastono Adinagoro—yang saya biasa
menyapanya dengan Pak Priyo, karena nama aslinya adalah Priyo Hastono.
Dalam perbincangan itu, Pak
Priyo banyak menjelaskan sekitar kisah Jaka Tarub dalam alur kisah yang
standar, tidak ada hal yang baru. Hanya saja, ada satu yang membuat saya cukup
kaget, yaitu ketika Pak Priyo menyatakan sebuah "fakta baru" bahwa
Jaka Tarub tidak mencuri selendang bidadari. Tetapi ketika saya kejar tentang
narasi "pengganti" (sebagai bentuk klarifikasi "kejadian yang sesungguhnya"), Pak Priyo masih tidak bisa menjelaskan dengan
terang.
Begitu pun, pada 9 Juni 2021
lalu, saat saya kembali berbincang dengan Pak Priyo, Pak Priyo masih belum bisa
menjelaskan tentang “fakta baru” itu secara benderang bahwa Jaka Tarub tidak
mencuri selendang bidadari, kecuali menyatakan bahwa "mencuri"
memiliki konotasi yang buruk, yang menarasikan citra buruk sosok besar Jaka
Tarub.
Padahal menurut saya, ketika
narasi tentang "mencuri selendang bidadari" pada legenda Jaka Tarub
dihilangkan, konsekuensinya memang meniscayakan membangun narasi baru yang akan merombak sebagian besar alur cerita.
Kalau tidak mencuri, lalu
bagaimana Jaka Tarub bisa mengajak pulang Nawangwulan (dan tidak mengajak
bidadari yang lain), lalu menikahinya. Juga, bagaimana dengan fragmen Nawangwulan
akhirnya menemukan selendangnya kembali dan memutuskan kembali ke kahyangan. Ketika
narasi baru itu tidak ada, maka alur cerita akan kacau dan mengambang. Ada alur
yang terputus. Sehingga cerita menjadi tidak utuh.
Maka, dari sinilah saya
terpantik untuk memilih "jalan lain" (karena sejak awal saya memiliki keyakinan lain menyikapi legenda Jaka Tarub), lalu mencoba menggali "data-data pembanding", yang bisa saya jadikan sebagai
bahan untuk "merekonstruksi" kisah Ki Ageng Tarub yang (lebih) logis dan ilmiah, walau
belum atau tidak populer.
Jaka Tarub Tidak Menikah dengan Bidadari
Saya sepakat dengan Ust.
Salim A. Fillah, seorang ustaz muda dari Jogja yang belakangan dalam ceramahnya
banyak berbicara tentang sejarah, termasuk Babad
Tanah Jawi dan Diponegoro, bahwa
cerita-cerita dalam babad tidak bisa dipahami apa adanya secara tekstual, namun
harus dipahami secara interpretatif berlandaskan data-data sejarah, karena cerita-cerita
dalam babad lebih banyak berupa simbol dan metafora.
Ketika saya menelusuri
data-data pembanding tentang Ki Ageng Tarub, saya sedikit banyak mendapati
titik terang bahwa cerita dalam legenda Ki Ageng Tarub memang lebih banyak
mengandung simbol, sehingga tidak bisa dipahami apa adanya. Dari sinilah, saya
semakin yakin dengan hipotesis saya sejak awal bahwa Jaka Tarub memang tidak
menikah dengan bidadari.
Dari data-data itu, saya
akan mencoba mengonstruksi alur cerita kisah Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan
dalam sebuah kontruks cerita yang lebih logis, dan mudah-mudahan mendekati fakta
sejarahnya. Insya Allah saya tulis
dalam bentuk buku. Di tunggu ya.* (Kang
Asti)
Perbincangan saya dengan Pak Prio Hastono bisa disimak di video sebagai berikut:
Mantabbb terus gali potensi budaya daerah Grobogan
BalasHapusSiap, laksanakan
HapusSebuah kisah yang telanjur mengakar di hati rakyat, Pak. Wacana penemuan hal baru dan berbeda dalam satu sisi memang diperlukan sebagai kajian yang bisa jadi mengungkap fakta sesungguhnya, tapi tetap dalam wadah tersendiri, yang tak perlu dibenturkan dengan cerita yang sudah mengakar tersebut. Tetap semangat, Pak, menelusuri sejarah demi sejarah.
BalasHapusTidak membenturkan kok mas, rekonstruksi cerita tetap berdasar cerita legenda yang sudah mengakar itu. Basisnya tetap legenda itu. Hanya cerita dalam legenda itu dimaknai sebagai simbolik sebagaimana cerita-cerita dalam babad lainnya, lalu simbol itu dipahami sesuai data sejarah. Terima kasih atensinya mas
Hapus