Mozaik Pemikiran Keislaman Gus Muwafiq

KH. Ahmad Muwafiq atau yang akrab disapa Gus Muwafiq adalah dai muda yang sedang naik daun. Video rekaman ceramahnya di berbagai kesempatan sangat mudah dijumpai di media sosial seperti facebook dan youtube.

Posisi Gus Muwafiq mungkin bisa disejajarkan dengan dai-dai muda yang populer di media sosial lainnya seperti Ustaz Abdul Somad (UAS), Ustaz Adi Hidayat (UAH), atau Ustaz Hanan Attaki.  Hanya saja captive market audiens Gus Muwafiq berbeda dengan ketiga ustaz tersebut.

Bila ketiganya lebih digemari kalangan “muslim perkotaan”, audiens Gus Muwafiq kebanyakan adalah warga nahdliyyin yang lebih banyak tinggal di kampung, karena kiai berpenampilan gondrong itu memang berlatar belakang NU.

Beberapa waktu lalu, dai muda kelahiran Lamongan, 2 Maret 1974 itu kesandung masalah. Video berisi potongan ceramahnya di Purwodadi (Jawa Tengah) viral dan menjadi perbincangan hangat warganet. Banyak yang membela, tak sedikit yang mengecam karena konten isi ceramah Gus Muwafiq dinilai melecehkan Nabi Muhamad.

Dalam ceramahnya, Gus Muwafiq menyebut kelahiran Nabi Muhammad biasa saja, seperti manusia pada umumnya, tidak bersinar, masa kecilnya tak terurus saat diasuh oleh kakeknya, bahkan ia menyebut kata “rembes” yang dalam bahasa Jawa berarti mukanya dekil karena umbelen (beringus). 
 
Beberapa ulama menilai kata-kata itu tidak pantas ditujukan kepada Nabi Muhammad, bahkan terkategori melecehkan. Sebagian ulama menasehati Gus Muwafiq untuk meminta maaf dan bertobat kepada Allah Swt atas apa yang telah dikatakannya.

Atas peristiwa itu, secara khusus Gus Muwafiq melakukan klarifikasi, minta maaf, dan pada kesempatan lain, juga menyatakan bertobat kepada Allah. Sikap ini sesungguhnya merupakan teladan baik yang bisa dicontoh oleh para dai muda lainnya.

Di luar kehebohan itu, buku berjudul Gus Muwafiq: Menggenggam Dalil, Merawat Tradisi, Menjaga Kebangsaan Indonesia yang ditulis oleh Muhammad Ainur ini layak disimak untuk mengenal lebih dekat sosok Gus Muwafiq dan menyelami recik-recik pemikirannya tentang keislaman dan keindonesiaan. Buku setebal 248 halaman ini dibagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama mengupas profil Gus Muwafiq sebagai seorang santri, aktivis dan kiai. Jauh sebelum populer sebagai dai seperti sekarang, Gus Muwafiq adalah seorang santri yang mengaji dari satu pesantren ke pesantren lainnya. (halaman 14). Lalu menjadi aktivis pergerakan Islam (PMII) saat menjadi mahasiswa di IAIN (sekarang UIN) Sunan kalijaga Yogyakarta. Puncaknya, ia pernah didaulat menjadi Sekjen Mahasiswa Islam se-Asia Tenggara. (halaman 15).

Gus Muwafiq dikenal sebagai sosok yang sederhana. Pergulatannya di dunia pergerakan Islam, menempanya menjadi sosok yang bersahaja namun tangguh dan bisa beradaptasi dalam segala situasi. Gus Imad, salah seorang pengasuh pesantren di Wonosobo yang sering menemani Gus Muwafiq berdakwah pada zaman dahulu menuturkan bahwa Gus Muwafiq seringnya naik motor ke mana-mana. (halaman 20). Karena itulah, Gus Muwafiq bisa ceramah di segala situasi. Ia pernah diundang ceramah di istana oleh presiden Jokowi, tapi juga biasa ceramah di pengajian-pengajian kampung. 
 
Ia dikenal memahami sejarah Islam, terutama dalam konteks keislaman dalam bingkai keindonesian. Gus Muwafiq sangat fasih berbicara tentang nasionalisme, pentingnya merawat tradisi, spirit kebangsaan, dan mempertahankan NKRI. Islam ala Gus Muwafiq sering disebut dengan istilah Islam santun yang rahmatal lil’alamin.

Pada bagian kedua dan ketiga buku ini, penulis mendedah ragam pemikiran Gus Muwafiq dalam konteks keislaman, keindonesiaan, kepemimpinan, dan tentu saja, Islam yang rahmatal lil’alamin. Membaca isi buku ini lebih seperti menikmati mozaik alias keping-keping pemikiran Gus Muwafiq yang dipungut dan dirangkum dari ceramah-ceramah sosok kiai berbadan besar dan berambut gondrong itu. 

Namun, dari mozaik pemikiran itu, pembaca bisa membaca arah pemikiran Gus Muwafiq yang mengerucut pada dambaan untuk membangun ekspresi berislam ala Indonesia yang tetap berpijak dan berakar pada tradisi leluhur (tentu yang tidak bertentangan dengan Islam). Islam yang damai, santun, menghargai pluralitas, penuh kerukunan dan persatuan, dalam bingkai NKRI.

Karena itu, Gus Muwafiq tidak setuju bila Indonesia disebut sebagai negeri kafir atau negeri thaghut. (halaman 53).  Bagi Gus Muwafiq, Indonesia justru negeri paling syar’i, (setidaknya) karena ada banyak konsep dan istilah yang diambil dari bahasa Arab, seperti istilah rakyat, masyarakat, dan wilayah, yang mengandung makna yang mendalam. (halaman 105).

Gus Muwafiq juga mengingatkan perlunya menjaga NKRI dari berbagai ancaman seperti terorisme dan radikalisme. Baginya, menjaga NKRI adalah wujud jihad. (halaman 76). Ia juga tidak sependapat dengan pihak-pihak yang menuduh bahwa cinta Tanah Air adalah bid’ah dan tidak sesuai syariat Islam. Menurutnya, kelompok-kelompok yang ingin mewujudkan negara Islam tetapi merusak Tanah Air, meskipun mereka membawa segepok dalil, sesungguhnya mereka tidak paham esensi Islam. (halaman 132-133).

Di atas berbagai keping-keping pemikiran itu, Muhammad Ainur sebagai penulis buku ini memandang Gus Muwafiq termasuk salah satu ulama muda NU yang begitu peduli pada pentingnya tali persaudaraan agar dikuatkan. 
 
“Kalau kita kaji kembali isi-isi ceramahnya, juga gerakan-gerakan sosial-keagamaannya yang barangkali luput dari liputan media, sangat tampak bahwa Gus Muwafiq menginginkan terciptanya kerukunan, terjalinnya silaturahmi, dan kuatnya ikatan persaudaraan atas dasar cinta dan kasih sayang,” tulis Ainur. (halaman 146).

Buku ini memang belum utuh memotret profil Gus Muwafiq dan belum mendalam mengkaji pemikirannya. Namun sekelumit profil dan mozaik pemikiran yang dihadirkan di buku ini, setidaknya bisa menjadi instrumen bagi pembaca untuk mengenal sosok kiai muda NU yang tengah menjadi (salah satu) lakon di panggung dakwah Islam Nusantara saat ini.
 
Data buku:
Judul buku: Gus Muwafiq: Menggenggam Dalil, Merawat Tradisi, Menjaga Kebangsaan Indonesia
Penulis: Muhammad Ainur
Penerbit: Laksana Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: 248 halaman
ISBN: 978-602-407-583-5 

*Tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, edisi Minggu, 26 Januari 2020.