Kangasti ID
Naik Trans Jateng, Tamasya Keluarga ke Semarang Zoo

Naik Trans Jateng, Tamasya Keluarga ke Semarang Zoo

 

Berfoto bersama formasi lengkap di Semarang Zoo. (Foto: dokumentasi keluarga)

Senin, 11 Juli 2022

 

Seingat saya, ini kali ketiga kami bertamasya ke Semarang Zoo atau yang lebih terkenal dengan sebutan "Bonbin Mangkang" atau "Taman Margasatwa Semarang". Pertama kali ke sini saat Hanum—anak ragil saya masih kecil. Tepatnya tahun berapa lupa, tapi kami masih menyimpan foto-fotonya. Ketika itu, Hanum minta naik gajah. Sedang dua kakaknya, Bina dan Mumtaz, memilih uji nyali dengan flying fox.

 

Kali kedua ke Taman Margasatwa Mangkang tahun 2017, tepatnya hari Minggu, 24 Desember. Saya ingat persis tanggal dan tahunnya karena salah satu sesi foto bersama dengan latar salah satu sudut di ruang museum satwa terpajang di dinding rumah. Piknik ke Bonbin Mangkang kedua kali ini, Mamak Tukirah—khadimat kami—ikut serta bersama anak perempuannya, Mbak Kiki. Ikut juga keponakan saya, Muti’.

 

Tamasya keluarga ke Bonbin Mangkang yang ketiga kali ini memanfaatkan sisa liburan ketiga anak kami, yang masing-masing akan segera kembali aktif sekolah. Apa yang menarik dari tamasya ke Bonbin Mangkang kali ini? Target wisatanya mungkin biasa—karena sudah yang kesekian kalinya, tapi cara kami menuju ke Semarang Zoo yang “tak biasa”.

 

Hanum berfoto dengan latar belakang unta di Bonbin Mangkang. (Foto: dokumentasi keluarga)

Ya, biasanya kami naik mobil, tapi  kali ini kami “bereksperimentasi” dengan naik moda transportasi umum Trans Jateng koridor VI dengan rute Semarang-Grobogan (Godong) yang baru diresmikan pada Oktober 2021 lalu oleh Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng). Selain "nyaman", naik bus Trans Jateng juga lebih hemat secara ongkos. Di luar itu, sebagai pengalaman baru—agar lebih seru.

 

Kami start dari Terminat Godong ke Terminal Penggaron per orang tiketnya hanya Rp 4.000. Kami berlima, jadi total Rp 20.000. Lalu dari Terminal Penggaron menuju ke Terminal Mangkang per orang tiketnya Rp 3500. Kami berlima jadi Rp 17.500.

 

Dari Terminal Mangkang kami beralih naik bus angkutan umum menuju ke Semarang Zoo (jalan kaki sebenarnya bisa sih, karena agak dekat, tapi cukup memegalkan kaki) dengan tarif Rp 3.000 per orang. Kami berlima Rp 15.000. Jadi total biaya pergi ke Mangkang dari Godong—tempat tinggal kami, “hanya” butuh biaya Rp 52.500.

 

Bila pulang dan pergi menggunakan moda transportasi yang sama, berlima hanya menghabiskan dana Rp 105.000 (seratus lima ribu rupiah). Cukup ekonomis. Di bus, bisa santai sembari ngantuk bersama hahaha...Kekurangnnya, kami tidak bisa leluasa mampir ke mana-mana, termasuk ke objek lain yang kami tuju.

 

Destinasi Wisata Keluarga

Bonbin Mangkang tak banyak berubah. Maklum, habis terdampak badai pandemi Covid-19. Selama pandemi, Semarang Zoo tutup total. Pengelola tentu rugi, karena harus mengeluarkan biaya makan hewan-hewan yang ada di dalamnya dan menggaji pegawainya.

 

Namun alhamdulillah, setelah pandemi mereda dan objek wisata kembali boleh dibuka, Bonbin Mangkang kembali ramai. Meski kami datang bukan saat weekend, Bonbin Mangkang lumayan ramai. Tiketnya pada hari biasa Rp 20.000 per orang, sedang saat Weekend (Sabtu dan Minggu) Rp 30.000 dengan bonus 1 kali permainan (di wahana permainan khusus) di lokasi untuk satu tiketnya.

 

Orang utan dan harimau, di antara binatang koleksi di Semarang Zoo. (Foto: dokumentasi keluarga)

Untuk koleksi binatang, sependek yang saya tahu, tak banyak berubah. Namun, kami tetap semangat "menyisir" semua kandang hewan. Mulai dari area reptil (ular, kura-kura) hingga area burung, monyet, orang utan, harimau, singa, rusa, unta, buaya, dan banyak lagi.


Setelah capek berkeliling, kami rehat sejenak. Sedang istri menemani Hanum memanfaatkan bonus permainan. Lima tiket berarti gratis lima kali permainan. 

 

Bonbin Mangkang ini memang cocok sebagai tujuan tamasya keluarga, terutama untuk nak-anak. Selain mengenalkan aneka satwa, banyak wahana permainan di area ini, antara lain naik becak air, ATV, flying fox, mini waterboom, dan lain sebagainya.

 

Bonbin Mangkang (Semarang Zoo) beralamat di Jalan Walisongo KM 16, tepatnya di seberang terminal Mangkang, Semarang. Bila hari-hari biasa, Bonbin Mangkang buka dari jam 08.00 hingga 15.00. Namun bila weekend (Sabtu dan Minggu), Semarang Zoo buka mulai jam 08.00 hingga 16.00. 

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist

Fiqh Kuliner #1: Status Hukum Daging Biawak

Fiqh Kuliner #1: Status Hukum Daging Biawak

 

Banner sebuah warung yang menyediakan menu rica-rica dan sate biawak. [foto: facebook]

Seiring perkembangan zaman, dunia kuliner juga berkembang pesat. Banyak ragam kuliner yang ditawarkan, di antaranya menu yang diolah dari daging biawak. Daging biawak bisa diolah menjadi berbagai menu masakan seperti sate, sup, dan rica-rica. Namun bagaimana sebenarnya status hukum daging biawak, halal atau haram?

 

RAIT Ilma Nafia Godong Gelar Akhirussannah dan Wisuda ke-13

RAIT Ilma Nafia Godong Gelar Akhirussannah dan Wisuda ke-13

Keceriaan siswa-siswi RAIT Ilma Nafia Godong yang diwisuda berpose dengan para dewan guru. [Foto: Wahyu K]

Setelah dua tahun di masa pandemi Covid-19 tidak bisa mengadakan haflah akhirussannah secara leluasa, alhamdulillah pada Rabu (15/6/2022) lalu, Raudlatul Athfal Islam Terpadu (RAIT)  Ilma Nafia Godong dapat menggelar akhirusannah dan wisuda siswa yang ke-13. Acara digelar di balai pertemuan Desa Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.  

 

Sejarah Penyebaran Islam dari Kacamata Orientalis

Sejarah Penyebaran Islam dari Kacamata Orientalis

Kaver buku "Sejarah Lengkap Penyabaran Islam" karya Prof. Dr. Thomas W. Arnold

 

Data buku:

Judul: Sejarah Lengkap Penyebaran Islam

Penulis: Prof. Dr. Thomas W. Arnold

Penerbit: Ircisod, Yogyakarta

Cetakan ke-1: Juli 2019

Tebal: 672 hlm

ISBN: 978-602-7696-90-7

 

Islam merupakan salah satu agama dakwah (missionary) terbesar di dunia bersama dengan Kristen dan Buddha. Sejarah penyebaran Islam menempuh perjalanan yang sangat panjang hingga mencapai jumlah pemeluk yang besar di seluruh belahan dunia seperti sekarang ini.

 

Max Muller, seorang filsuf dari Jerman yang juga pendiri studi ilmu agama, mendefinisikan istilah agama misioner sebagai “agama yag memiliki ajaran mendakwahkan kebenaran disertai meningkatnya upaya penarikan orang lain yang masih ingkar oleh pendiri atau para pengganti dari pendiri agama yang bersangkutan sampai titik upaya tersebut dianggap menjadi kewajiban suci.”

 

Masih menurut Muller, “Misionari menjadi semangat kebenaran yang menyala dalam hati para penganut dan tidak bisa ditinggalkan, bahkan ditunjukkan dalam pemikiran, kata-kata, dan perbuatan, yang tidak akan puas sampai agama tersebut bisa merasuk dalam setiap jiwa manusia hingga hal yang diyakini sebagai kebenaran diterima sebagai kebenaran pula oleh seluruh manusia.”

 

Semangat dakwah semacam itulah yang menjadi pemacu semangat kaum muslimin untuk senantiasa menyebarkan ajaran Islam ke seluruh umat manusia di setiap benua. Data tahun 2015 memperlihatkan, dari  7,3 miliar penduduk dunia, sekitar sepertiganya memeluk Kristen (31%). Umat Islam menduduki proporsi terbesar kedua dengan 1,8 miliar atau setara dengan 24% dari populasi global. Jumlah penganut umat Islam yang tersebar di seluruh dunia itu merupakan bukti kerja panjang dalam kegiatan dakwah Islam selama berabad-abad.    

 

Buku berjudul Sejarah Lengkap Penyebaran Islam ini merupakan karya seorang orientalis Islam asal Inggris yang juga seorang Profesor Studi Arabia di University of London bernama Sir Thomas Walker Arnold. Sebagai sebuah buku sejarah Islam, buku ini menyuguhkan kajian yang sangat menarik seputar penyebaran Islam, sejak awal agama Islam didakwahkan oleh Nabi Muhamad Saw di Mekah dan Madinah, hingga menyebar ke berbagai negara di dunia.

 


 

Penyebaran ajaran Islam demikian pesat menjamah hampir di setiap penjuru dunia dengan beragam sebab dan aneka latar belakang sosial, politik, serta agama. Namun, dari berbagai sebab yang ada, faktor terbesar dari persebaran ajaran Islam yang kian tak terbantahkan adalah munculnya tenaga-tenaga misionaris muslim. Mereka merelakan diri menjadi dai untuk mengislamkan orang-orang kafir dengan Nabi Muhammad Saw sebagai teladan utama mereka.  

 

Hebatnya, menurut Thomas W. Arnold dalam buku ini, dakwah misioner Islam tidak pernah dilakukan dengan penganiayaan yang penuh kekejaman atau dilandasi kemarahan sikap fanatik. (hlm. 19). Metode dakwah damai hanya akan ditinggalkan ketika lingkungan politik memaksa mereka untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan atau cara-cara damai tidak mungkin ditempuh dan jalur politik tak bisa diusahakan lagi. (hlm. 20).

 

Prinsip Dakwah

Buku ini oleh Thomas W. Arnold dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana idealisme ini muncul dalam sejarah dan bagaimana prinsip-prinsip kegiatan dakwah dipraktikkan di lapangan oleh para eksponen Islam. Di luar tujuan ini, buku ini tidak bertujuan mengungkap contoh-contoh kekuatan pengislaman yang mungkin ditemukan di sana-sini dari lembaran sejarah umat Islam. (hlm. 25).

 

Seperti contoh ungkapan kekejaman Khalifah Marwan, seorang khalifah terakhir Bani Umayyah, “Siapa pun penduduk Mesir yang tidak mau memeluk agamaku dan beribadah sebagaimana aku beribadah dan mengikuti ajaranku, maka aku akan membunuh dan menyalibnya.” Sebaliknya, Khalifah al-Mutawakkil, Khalifah al-Hakim, dan Sultan Tippu dianggap sebagai ciri khas misionaris Islam seperti halnya para dai semisal Sunan Maulana Malik Ibrahim di tanah Jawa, Khwaja Mu’inuddin Chisti di India dan dai-dai lain yang tak terhitung jumlahnya yang telah berhasil melakukan pengislaman dengan cara damai. (hlm. 27).

 

Buku ini terdiri atas 13 bahasan utama. Di bahasan awal, Thomas W. Arnold dengan sangat baik menyuguhkan ulasan tentang seputar kehidupan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang dai. Perjalanan dakwah Nabi Muhammad Saw yang panjang telah melewati liku-liku dan tantangan hebat, namun ia tak gentar meski menghadapi beragam intimidasi dan upaya kriminalisasi.

 

Saat di awal-awal dakwah, orang-orang Quraisy mengultimatum agar ia menghentikan dakwahnya dan mengancam akan melancarkan lebih banyak lagi siksaan dan kekerasan kepadanya bila ia tidak mau berhenti berdakwah. Namun dengan gagah ia menjawab:

 

“Sekalipun matahari diturunkan di atas tangan kananku dan bulan dikirimkan di atas tangan kiriku sebagai pilihan pengganti agar aku meninggalkan dakwahku atau binasa dalam rangka menjalani misi Tuhan, aku tidak akan pernah mencampakkan ajaran ini sampai Tuhan menyuruhku berhenti.” (hlm. 35).

 


Dengan demikian, dari sejak semula, Islam mengemban label sebagai agama misioner (agama dakwah) yang mengejar kemenangan hati manusia untuk mengislamkan serta menyerukan orang-orang agar mengikuti persaudaraan seiman. Dan sebagaimana permulaannya, karakter misioner ini berlanjut hingga sekarang ini. (hlm. 84).

 

Dari karakter misioner itulah, Islam menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Dan di bab-bab selanjutnya, Thomas W. Arnold menyuguhkan ulasan yang memikat terkait sejarah penyebaran Islam tersebut, sejak penyebaran Islam di negara-negara Asia Barat, Afrika, Spanyol, Eropa, Asia Tengah, Mongol dan Tartar, India, Tiongkok, hingga di Kepulauan Melayu.

 

Dengan bahasa yang lugas dan mudah dicerna, serta didukung oleh data-data yang kredibel, buku setebal 672 halaman dan bersampul keras (hard cover) ini layak menjadi salah satu bacaan dan referensi terkait sejarah penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia dari kaca mata seorang orientalis. 

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia Grobogan.Tulisan ini dimuat di Suara Merdeka, edisi Minggu, 3 Novermber 2019.

Mengenal Eko Supa, Pelukis Karikatur Kelas Dunia dari Grobogan

Mengenal Eko Supa, Pelukis Karikatur Kelas Dunia dari Grobogan

Eko Supa, seniman lukis karikatur dari Grobogan. [Foto: Wahyu K]

Tubuhnya gemuk. Kalau bicara pelan. Saya bertemu dengannya saat menghadiri kegiatan Nggambar Bareng Palipuro di Alun-alun Purwodadi akhir bulan Mei 2022 lalu. Sembari menggoreskan kuas ke media gambar di depannya, ia meladeni saya berbincang.

 

Nama lengkapnya Eko Suparyanto, namun di panggung lukis yang digelutinya, ia populer dengan nama Eko Supa. Pria kelahiran Grobogan, 2 April 1982 ini memang dikenal sebagai seorang pelukis, spesialis karikatur. Bukan sekelas pelukis temeh-temeh, tapi lukisannya sudah menjelajah dari pameran-pameran berkelas, lokal, regional, nasional, hingga internasional.  

 

Minatnya di bidang seni lukis sudah sejak  dari kecil. Tapi mulai menekuni dunia seni lukis secara profesional sejal lulus dari SMA  PGRI Purwodadi. Ia bertolak ke Jogjakarta untuk belajar seni lukis secara lebih intens.

 


Di Kota Gudeg itu, ia belajar seni lukis dari para pelaku seni rupa di sepanjang Jalan Malioboro. Jogjakarta rupanya membuatnya betah berlama-lama menimba ilmu dan menekuni dunia seni lukis. Setidaknya tercatat tujuh tahun ia tinggal di Jogjakarta sejak tahun 2002 hingga 2009.

 

Di Jogjakarta itulah kemampuan seni lukisnya terasah dengan baik. Ia ikut pameran demi pameran dan percaya diri menjual lukisannya. Lukisan pertamanya berupa gambar harimau terjual Rp 750 ribu.

 

Eko Supa pun semakin mantap menapaki profesi sebagai seorang seniman lukis. Berbagai aliran seni lukis pernah ia pelajari dan tapaki. Mulai dari aliran realis, naturalis, ekspresif, impresif, dan lain-lain. Hingga kemudian ia memantapkan diri cenderung memilih seni lukis gaya karikatur—yaitu seni lukis yang menggambarkan suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.

 

Pameran Tunggal

Setelah aktif mengikuti sejumlah pameran, Eko Supa menjadi lebih percaya diri, ia pun menghelat pameran tunggal. Pameran tunggal pertamanya diadakan di Galeri Hadiprana Jakarta tahun 2009 dengan mengusung tema “Orde Batik” yang menggambarkan tokoh-tokoh internasional dalam busana batik. 

 

Pameran tunggal itu nampaknya menjadi titik balik bagi Eko Supa untuk menunjukkan reputasinya sebagai seorang seniman lukis berkelas. Tahun 2010, lukisannya menjadi finalis Jakarta Art Awards dan Indonesia Art Awards. Tahun-tahun berikutnya secara beruntun, yaitu tahun 2011, 2012, dan 2015, lukisannya menjadi finalis UOB Painting of the Year Indonesia, menyisihkan ribuan lukisan yang dikompetisikan.

 

Lukisan bertajuk "Spirit Selendang" karya Eko Supa

Tahun 2018, lukisannya bertajuk “Spirit Selendang” termasuk yang dipamerkan dalam Pameran Temporer Museum Basoeki Abdullah bertema “Spirit Potret”. Pada pameran itu, Eko Supa bersama sekitar 30 seniman lukis se-Indonesia—yang lukisannya terpilih, diminta untuk melukis  karya maupun karakter Basoeki Abdullah dengan eksplorasi sesuai aliran dan imajinasi masing-masing.

 

Saat itu Eko Supa membuat lukisan karikatur yang menggambarkan Basoeki Abdullah masuk ke dalam lukisan “Jaka Tarub”—sebuah lukisan yang pernah dibuat oleh Basoeki Abdullah berdasarkan cerita rakyat tentang Jaka Tarub dan 7 Bidadari. 

 

Dalam lukisannya, Eko Supa menggambarkan karakter Basoeki Abdullah yang mengambil selendang bidadari, sehingga karya lukisannya itu diberi tajuk “Spirit Selendang” dan terpajang di katalog galeri tersebut. 

 

Satu Lukisannya Terjual Rp 35 Juta

Setelah malang melintang di Jogjakarta, Eko Supa harus pulang ke kampung halamannya di Kota Purwodadi. Ia pulang karena harus menunggui ibunya. Namun, hal itu tak membuatnya lantas vakum dari dunia lukis. Ia tetap produktif. Hingga saat ini, Eko Supa masih terus aktif sebagai pelukis bebas yang mengolah karakter karikatural tokoh-tokoh dunia.

 

Apalagi dunia seni lukis boleh dibilang sudah menyatu dalam hidup dan kehidupannya. Seni lukis menjadi mata pencahariannya. Sepanjang karir sebagai seniman lukis, Eko Supa mengaku, satu lukisannya pernah terjual hingga seharga Rp 35 juta.

 

Menurutnya, itu belum seberapa dibanding pelukis-pelukis lainnya yang sudah lebih tersohor yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk satu buah lukisan. Namun ia tetap bersyukur dengan apa yang telah dicapainya hingga seperti sekarang.

 

Bulan Desember 2018, ia bersama dua seniman lukis Purwodadi lainnya, yaitu Didik Budiarto dan Andi Kebo, membidani lahirnya sebuah komunitas seniman lukis Purwodadi bernama Palipuro yang merupakan kepanjangan dari “Perkumpulan Pelukis Purwodadi Grobogan”. 

 

Ia berharap, lahirnya komunitas ini menjadikan seniman lukis Grobogan lebih memiliki pengaruh di kancah seni lukis nasional maupun internasional, serta memiliki kontribusi bagi citra positif daerah.

 

Simak video perbincangan saya dengan Eko Supa di rumahnya di daerah Kebondalem, Purwodadi, Grobogan:

 


 *Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist     

     

10 Kuliner Khas Grobogan versi Kang Asti

10 Kuliner Khas Grobogan versi Kang Asti

 

Saya (dua dari kiri) saat menjadi narsum Festival Kuliner Podcast di Festival Kuliner di Swalayan Luwes Purwodadi pertengahan April 2022 lalu. [Foto: Agus Wibowo]

Apa kuliner khas Grobogan? Bila pertanyaan ini diajukan sebelum tahun 2000, boleh jadi jawabannya hanya satu: swike. Tapi bila pertanyaan itu diajukan setelahnya, alternatif jawabannya menjadi lebih banyak.

 

Era media sosial, utamanya facebook, telah  merevolusi banyak hal, termasuk lalu lintas informasi yang berlangsung sangat cepat. Banyak hal yang mengemuka setelah diunggah di media sosial. Viral adalah sebuah istilah yang ngetren di era media sosial. Sebuah postingan menjadi viral bila menarik minat publik, dibagikan berkali-kali,  dan menjadi trending topic alias pembicaraan hangat.

 

Selain akun pribadi, saat itu saya juga membuat sebuah akun facebook bernama “Grobogan Corner“. Sejujurnya, pemantik pembuatan akun ini adalah untuk mengimbangi sebuah akun facebook bernama Peduli Grobogan Yuk (sering disingkat PGY) yang getol membuat postingan terkait dugaan korupsi di lingkaran birokrasi Kabupaten Grobogan.

 

Membaca postingan-postingan PGY setiap hari, memberi impresi kuat seolah Grobogan itu isinya hanyalah kebobrokan para pejabatnya—seolah tak ada hal positif yang bisa dibanggakan. Meski sesungguhnya PGY juga memosting pelbagai potensi lokal Grobogan, namun postingan-postingan itu seperti tenggelam oleh gencarnya sang admin mengekspose  dugaan perilaku korup pejabat Grobogan.

 

Nah, akun Grobogan Corner (biasa disingkat GC) saya proyeksikan sebagai akun penyeimbang yang mengekspose pelbagai potensi lokal Grobogan dan mengangkat isu-isu positif, inspiratif, dan konstruktif terkait Grobogan—meski terkadang juga menyelipkan kritik. Di akun GC, saya memosting pelbagai potensi lokal Grobogan dari berbagai bidang, sejak produk UMKM, kuliner khas, hingga jejak sejarah, budaya, dan tokoh, serta lainnya.

 

Publikasi nasi becek khas Grobogan yang saya lakukan, salah satunya dimuat di Koran Muria, edisi Minggu, 30 November 2014. [Foto: dokumen pribadi]

Di bidang kuliner utamanya saya mencoba menggali kuliner-kuliner khas yang selama ini “tersembunyi” karena tiadanya publisitas atau tenggelam oleh citra swike yang sudah telanjur menghegemoni—sehingga merasuk ke alam pikir khalayak bahwa kuliner khas Grobogan ya swike. Ketika itu mulai saya publish becek, garang asem, sega pager (saat itu masih bernama sega janganan), sega pecel gambringan, mi tek-tek, dan nasi jagung.    

 

Tidak hanya melalui facebook, saya juga gencar mem-publish kuliner Grobogan selain swike melalui koran lokal yang saat itu masih banyak yang terbit dan beredar, seperti Koran Muria, Suara Merdeka, dan Jawa Pos Radar Kudus.

 

Saat itu, yang saya push adalah becek yang saat itu memang mulai populer dan saya proyeksikan bisa ‘menyaingi’ hegemoni dan popularitas swike.  Saya ikut membantu mem-publish secara masif warung makan yang menyediakan menu becek.

 

Beberapa warung makan yang saya push antara lain Warung Makan Mbak Mun Godong—sayang, warung ini sekarang sudah tutup; dan Warung Sedep Yanto Ganjar Getasrejo—yang menyediakan menu becek kerbau dan saat ini masih eksis bahkan makin ramai pelanggannya.

 

Di Suara Merdeka saya menulis artikel opini berjudul Alternatif Kuliner Grobogan, dimuat di rubrik Wacana Lokal edisi Jumat, 31 Oktober 2014. Pada tulisan ini saya memperkenalkan dua kuliner Grobogan yang bisa di-branding menjadi ikon kuliner Grobogan selain swike, yaitu becek dan nasi pecel gambringan. 

 

Saya (paling kanan) saat menjadi narasumber pada diskusi "Membranding Kuliner Grobogan" di Alun-alun Purwodadi pada tahun 2015 lalu. [Foto: Dokumen pribadi]

Alhamdulillah, tahun 2015, Komunitas Pelestari Budaya Grobogan (KPBG) menghelat acara Festival Kuliner Grobogan di Alun-alun Purwodadi. Saya ikut diundang menjadi narasumber dalam sesi diskusi “Membranding Kuliner Grobogan” pada festival tersebut, bersama anggota DPD RI ketika itu, Dr. Bambang Sadono. Setelah diskusi, dihelat makan nasi becek bersama.

 

Publisitas yang masif pelbagai kuliner Grobogan, utamanya becek, secara perlahan menampakkan hasilnya. Kini, di seantero Grobogan sudah banyak sekali warung makan yang menyediakan menu becek. Bahkan saat menjadi narasumber Festival Kuliner yang dihelat oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Grobogan x Sinergi Production pada 16 April 2022 di Swalayan Luwes Purwodadi, saya menyatakan bahkan becek saat ini sudah mengalami diversifikasi.

 

Becek yang awalnya menggunakan iga sapi, kini sudah berkembang menjadi becek kerbau, becek ayam, becek kambing, bahkan becek ikan nila. Tentu hal itu merupakan eksperimentasi dan perkembangan yang sangat bagus yang perlu didukung oleh berbagai pihak, terutama oleh dinas terkait.

 


Di acara festival tersebut, juga saya sampaikan 10 kuliner khas Grobogan hasil riset saya, yaitu swike, becek, garang asem, ayam pencok atau ayam panggang bledug, nasi jagung, sega pager (sega janganan), sega pecel gambringan, lempok, mi tek-tek, dan lontong pecel sayur.

 

Daftar ini akan bertambah bila kita memasukkan kuliner jenis kudapan khas Grobogan seperti yangko Godong, sale pisang, emping jagung, marning, kue semprong, dan keripik tempe.

 

Jadi, betapa kayanya Grobogan akan khazanah kuliner khasnya. Kuliner Grobogan tidak melulu swike. Itu belum culinary heritage-nya yang juga banyak dijumpai di sejumlah wilayah di Kabupaten Grobogan. Insya Allah kita bahas di tulisan mendatang.

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Food Blogger & YouTuber, Founder Jatengnyamleng ID