 |
Sumber ilustrasi: thumbnail di channel YouTube GolAGong TV
|
Sejak menekuni dunia kepenulisan pada tahun 1994, saya merasa
“gak berbakat” menulis tulisan jenis fiksi. Saya lebih enjoy menulis
nonfiksi. Tulisan pertama saya juga dalam bentuk artikel, dimuat di majalah Rindang
edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis Pergaulaan Remaja Modern”. Rindang
adalah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Departeman Agama (Depag) Jawa
Tengah. Sekarang sudah tidak terbit.
Seterusnya, hingga sekarang, yang saya tulis juga
tulisan-tulisan nonfiksi antara lain dalam bentuk: opini, esai, berita (liputan
kegiatan), feature, resensi, dan lain sebagainya. Seingat saya, sekali saya
pernah menulis cerkak (cerita cekak) alias cerpen berbahasa Jawa dan dimuat di majalah
Jaya Baya. Edisi berapa dan tahun berapa saya lupa. Hanya yang saya
ingat adalah judulnya, “Episode Cinta”—karena isinya memang cerita roman remaja
dan dimuat di rubrik Roman Secuil.
Kalau puisi? Saya sudah koleksi dan membaca berulangkali buku-buku
antologi puisi karya penyair bereputasi nasional maupun lokal, seperti Gus Mus,
Rendra, D Zawawi Imron, dan lain sebagai, tapi saya merasa selalu “gagal” dan “tak
percaya diri” setiap kali menulis puisi.
Puisi saya cenderung berbunga-bunga atau terlalu mudah “diendus”
maksudnya. Meski kebanyakan puisi-puisi Gus Mus juga “lugas” dan “mudah
diketahui maksudnya” seperti puisi “Di Negeri Amplop”, tapi puisi-puisi Gus Mus—menurut
saya—pilihan katanya benar-benar memiliki daya satra dan “magis”.
Karena itulah, sepanjang usia kepenulisan saya, hingga kini
saya memosisikan diri sebagai penikmat sastra, baik novel maupun cerpen dan
puisi. Seumur-umur saya tak pernah memupuk mimpi menulis novel atau punya buku antologi
cerpen atau puisi. Terbersit sih pernah—tapi hingga sekarang belum juga gumregah
dan punya greget untuk merealisasikannya.
Tapi atas “todongan” seseorang pegiat literasi nasional
bernama Dr. Muhsin Kalida—yang juga seorang pakar psichowriter dan dosen
UIN Sunan Kalijaga Kogjakarta, beberapa waktu lalu, akhirnya saya “dipaksa”
atau “terpaksa” menulis puisi dan akhirnya 3 buah puisi saya masuk ke dalam
sebuah buku antologi bersama. Judul bukunya “Samudra Ekspresi, Antologi
Puisi”, diterbitkan oleh penerbit Ladang Kata Jogjakarta bekerja sama
dengan Yasuka Institute, Juli 2021.
Buku itu diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. H. Hanna,
M.Pd., seorang pegiat literasi, pengurus pusat Gerakan Pemasyarakatan Minat
Baca (GPMB), dan guru besar Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Buku diberi endorsement
oleh Duta Baca Indonesia, Gol A Gong dan penggagas buku tersebut, tak lain
adalah Dr. Muhsin Kalida—yang “menodong” saya untuk ikut di “proyek penulisan” itu.
Berikut ini dua dari tiga puisi saya yang ada di dalam buku
tersebut:
Asal-usul Aku Jatuh
Cinta Pada Buku
di sebuah desa kecil
di sebuah madrasah sore
di sebuah ruang
kelasnya
tersebutlah lemari buku
tua
dengan ratusan
buku-buku
di dalamnya
lemari buku itu
di pojokan kelas
letaknya
di situlah aku biasa
menghabiskan
waktu
saat teman-teman
kecilku
asyik bermain gundu
aku lebih suka membaca
buku
saat teman-teman kecilku
asyik gegojekan
aku asyik melahap
bacaan
aku selalu kagum
dengan cerita-cerita
di buku yang kubaca
seperti tentang regu
pramuka
yang sukses menggulung
komplotan penjahat
atau seorang anak yang
berjasa pada kampungnya
bertahun buku di lemari
itu
tak pernah bertambah
hingga aku lulus dari
madrasah
mungkin, sampai kini
atau kini buku-buku itu
sudah raib
aku tak tahu
tapi lemari buku di
madrasah itu
tapi lemari buku di
pojokan kelas itu
adalah tempat pertama
kali
aku jatuh cinta pada
buku
Bugel, Juni 2021
Sajak Kampung Halaman
berziarah ke kampung
halaman
memungut serpihan tapak
kenangan
yang menyerpih di
pelataran madrasah
juga di sepanjang jalan
dusun tanah tumpah darah
dulu, semua masih
bersahaja
bermain jithungan di
bawah terang purnama
bermain galasin, atau gobag
sodor kami menyebutnya
di pelataran madrasah
yang lumayan luasnya
dulu, hujan adalah kado
dari langit
yang kami bisa pesta
air dan bola
sungai lusi laksana bengawan surga
tempat berenang-renang
dan berkejaran di bening airnya
sekarang, semua berlalu,
zaman telah amat maju
tapak-tapak kenangan
itu mulai sirna
anak-anak hanya karib
dengan gawai
setan gepeng itu
membius amatlah piawai
Berukudon, nama kampung
halamanku
betapa pun tetaplah
pelabuhan rindu
tempat aku pulang
menenun kenangan
ihwal suatu masa pada
zaman yang telah silam
Bugel, Juli 2019
Terlepas dari kualitas
puisi saya yang “jauh panggang dari api” itu, tak apalah. Saya kira pembaca
memaklumi, karena saya memang bukan serorang penyair hahaha.....tapi puisi saya di buku
itu sempat mendapat komentar dari Gol A Gong yang bisa disimak di chanel
YouTube-nya.
*Badiatu Muchlisin
Asti, Citizen Journalist, Penulis Nonfiksi, bukan penyair.