 |
Dr. Riadi Darwis dengan buku pertamanya. (Foto: merdeka.com) |
Sebagai penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia,
saya memang mengoleksi banyak buku kuliner dari para pakar dan pesohor di
bidang kuliner seperti mendiang Bondan Winarno (berseri buku kulinernya lengkap
saya koleksi), mendiang Julie ‘Nyonya Rumah’ Sutarjana--sang Gastronom Tiga Zaman, mendiang Tuti Soenardi--pakar di bidang gizi,
William Wongso, Sisca Soewitomo, Murdijati Gardjito—pakar gastronomi UGM, dan
banyak lagi.
Tak hanya karya para pesohor di blantika kuliner Indonesia,
namun juga karya siapapun yang berkaitan dengan tema kuliner tradisional
Indonesia, saya koleksi, baik buku-buku lawas—yang terbit jauh sebelum saya lahir, maupun
buku-buku kuliner yang terbit setelah saya lahir hingga sekarang.
Salah satu sosok yang buku-buku karyanya saya koleksi dan saya
nikmati betul adalah Dr. Riadi Darwis, M.Pd. Ia memang tidak sepopuler nama-nama
yang saya sebutkan di awal. Namun sisi ketekunannya sebagai seorang dosen dan peneliti
gastronomi, benar-benar membuat saya kagum.
Saya memang tidak mengenalnya secara khusus, apalagi
bersua. Saya hanya penikmat yang menikmati
karya-karyanya. Dan sesekali berinterasi di media sosial facebook—sekedar
komen atau like statusnya.
Awal saya “berkenalan” dengannya adalah saat saya “menemukan”
buku perdananya yang cukup tebal berjudul “Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah
Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon” yang diterbitkan oleh Penerbit Selaksa
Media (Kelompok Intans Publishing) Malang, cetakan pertama Agustus 2019.
Waktu “menemukan” buku itu saya seperti mendapat durian
runtuh. Buku semacam ini yang (di antaranya) saya cari. Buku yang menggali khazanah
kuliner dari pelbagai manuskrip kuno. Buku semacam ini, bagi saya, setidaknya menunjukkan
dua hal:
Pertama, leluhur kita era dulu sejatinya telah
memiliki tradisi literasi yang baik, yang teruntai dalam banyak relief dan
manuskrip kuno, yang jejaknya masih bisa kita telusur hingga saat ini.
 |
Potongan resensi buku "Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon" di Jawa Pos Radar Madura, edisi Minggu, 5 Juni 2020.
|
Relief yang terdapat di Candi Borobudur, misalnya, ternyata
banyak menyimpan cerita kehidupan di masa lampau—saat relief itu dibuat, yang
salah satunya bercerita tentang pelbagai kuliner yang berkembang di masa itu—yang
saat ini (sedang dan telah) dikembangkan menjadi wisata gastronomi melengkapi paket
wisata Candi Borobudur.
Kedua, kajian kuliner tempo dulu signifikan untuk
dilakukan guna menggali khazanah kuliner warisan leluhur yang mencerminkan
banyak hal seperti kreativitas, nilai-nilai filosofis, kearifan lokal, strategi
ketahanan pangan, dan sebagainya. Hasil kajiannya bisa menjadi referensi penting untuk
meneguhkan budaya kuliner bangsa yang adiluhung dan pengembangan wisata
gastronomi berbasis sejarah dan local genius (kearifan lokal) sebuah
daerah.
Setelah membaca tandas buku itu, saya lanjut meresensinya dan
tulisan resensi itu dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos Radar Madura
edisi Minggu, 5 Juni 2020 dengan judul “Kuliner dalam Tradisi Keraton
Kesultanan Cirebon”. Masih belum puas, lalu saya susuli tulisan resensi versi
kedua dan dimuat di media Islam daring Alif ID edisi Minggu, 5 September
2021 dengan judul “Kuliner Etnik Sunda dalam Naskah Kuno dan Tradisi Keraton”.
Peneliti yang Tekun
Setelah buku berjudul
“Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan
Cirebon” terbit (2019), setahun kemudian pada September 2020, buku
karyanya (yang kedua) kembali terbit. Kali ini berjudul “Seri Gastronomi
Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik” yang
diterbitkan oleh penerbit UPI Press. Bukunya lebih tebal lagi dari buku pertamanya.
Bila buku pertama “hanya” 554 halaman, buku keduanya ini mencapai 656 halaman
dengan ukuran buku yang lebih besar.
Tahun 2021, harusnya terbit buku ketiganya, namun—sependek yang
saya tahu, karena persoalan teknis, buku itu baru terbit Maret 2022 oleh
penerbit UPI Press. Amazing-nya, buku ketiganya ini lebih “gila” lagi tebalnya.
Karena terlampau tebal, bahkan penerbit “harus” membaginya menjadi
dua jilid. Judul buku ketiganya adalah “Serial Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah
Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)”. Jilid
pertama setebal 734 halaman dan Jilid 2 setebal 336 halaman. Bila disatukan,
buku itu bertebal lebih dari seribu halaman.
Boleh jadi secara kuantifikasi, karyanya belum banyak. Namun
dari sisi bobot dan kekayaan data di dalam ketiga buku tersebut, sangat menunjukkan
produktivitas, ghirah, dan ketekunan seorang Dr. Riadi Darwis yang sangat
luar biasa. Membaca ketiga buku tersebut,
kita seperti diajak menuju ke lorong waktu, masuk ke “masa lalu”,
menyigi pelbagai budaya kuliner dan khazanah kulinernya di zaman itu, secara “detail
dan mendalam”.
Ketiga buku karya Dr. Riadi Darwis memang merupakan hasil
riset dari pelbagai manuskrip dan naskah kuno, sehingga dihasilkan data terkait
kosa kata dan ungkapan kuliner yang terbagi dalam berbagai klaster antara lain
minuman, makanan, teknik kuliner, dan lain sebagainya.
 |
Buku-buku Seri Gastronomi Tradisional Sunda karya Dr. Riadi Darwis yang saya koleksi. (Foto: dokumentasi pribadi)
|
Termasuk buku terbarunya yang berjudul “Serial Gastronomi
Tradisional Sunda: Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)” yang
baru saya terima hari ini (Kamis, 14/07/2022). Saya memang belum membacanya,
tapi dari sekilas daftar isi yang saya baca, buku ini menyigi khazanah lalab—yang
sangat populer dalam budaya kuliner Sunda, rujak, sambal, dan ték-ték dalam berbagai
prasasti masa klasik dan naskah sunda kuno.
Ternyata, sebagaimana ditulis Dr. Riadi Darwis dalam buku terbarunya (Jilid 1), tradisi menyantap lalab di kawasan Pulau Jawa sudah tercatat dalam
sejumlah prasasti. Ditengarai pada abad ke-9 atau ke-10 Masehi, hal tersebut
sudah tercatat.
Saat ini lalaban atau lalapan menjadi budaya kuliner yang
identik dengan masyarakat Sunda. Penelitian Prof. Unus Suriawiria sampai tahun
2000—sebagaimana yang dikutip Prof. Murdijati Gardjito dalam buku Kuliner
Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyebutkan, ditemukan tidak kurang
200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.
Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis ini menghadirkan
data yang lebih banyak lagi. Berdasarkan hasil telusur melalui sejumlah referensi maupun observasi, dalam buku terbarunya (Jilid 2), Dr. Riadi Darwis menyajikan sejumlah 718 jenis tanaman lalab yang hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.
Buku terbaru 2 jilid karya Dr. Riadi Darwis ini sangat menarik. Saya
sedang “menyiapkan” energi untuk melahap buku tebal yang terbagi dalam dua
jilid ini. Agar bisa menyerap gizi buku tebal—hasil riset mandiri selama 31
tahun—ini secara lebih maksimal. Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis, yang tak berlebihan bila saya sebut sebagai "Sang Gastronom
dari Tatar Sunda".
*Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist yang
penikmat (sejarah) kuliner Indonesia.