Kangasti ID: Catatan
Sarasehan Penggiat Sosial Grobogan, Mendorong Program Social Empowerment

Sarasehan Penggiat Sosial Grobogan, Mendorong Program Social Empowerment

Memandu sarasehan penggiat sosial Grobogan di acara Gebyar Muharram 1444 H.

Sabtu (30/7/2022), saya menghadiri acara Satunan Anak Yatim dalam rangka Gebyar Muharram 1444 H yang diselenggarakan oleh BAZNAS Kabupaten Grobogan dan Forum Komunikasi Penggiat Sosial Grobogan (FKPSG) di Pendopo Kabupaten Grobogan.  Acara dihadiri Bupati Grobogan Hj. Sri Sumarni, Ketua BAZNAS Kabupaten Grobogan Ari Widodo, dan Ketua FKPSG Ipda Supardi, SH.

 

“Asal-usul Aku Jatuh Cinta Pada Buku” dalam Antologi Puisi Samudra Ekspresi

“Asal-usul Aku Jatuh Cinta Pada Buku” dalam Antologi Puisi Samudra Ekspresi

Sumber ilustrasi: thumbnail di channel YouTube GolAGong TV
 

Sejak menekuni dunia kepenulisan pada tahun 1994, saya merasa “gak berbakat” menulis tulisan jenis fiksi. Saya lebih enjoy menulis nonfiksi. Tulisan pertama saya juga dalam bentuk artikel, dimuat di majalah Rindang edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis Pergaulaan Remaja Modern”. Rindang adalah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Departeman Agama (Depag) Jawa Tengah. Sekarang sudah tidak terbit.

 

Seterusnya, hingga sekarang, yang saya tulis juga tulisan-tulisan nonfiksi antara lain dalam bentuk: opini, esai, berita (liputan kegiatan), feature, resensi, dan lain sebagainya. Seingat saya, sekali saya pernah menulis cerkak (cerita cekak) alias cerpen berbahasa Jawa dan dimuat di majalah Jaya Baya. Edisi berapa dan tahun berapa saya lupa. Hanya yang saya ingat adalah judulnya, “Episode Cinta”—karena isinya memang cerita roman remaja dan dimuat di rubrik Roman Secuil.

 

Kalau puisi? Saya sudah koleksi dan membaca berulangkali buku-buku antologi puisi karya penyair bereputasi nasional maupun lokal, seperti Gus Mus, Rendra, D Zawawi Imron, dan lain sebagai, tapi saya merasa selalu “gagal” dan “tak percaya diri” setiap kali menulis puisi.

 

Puisi saya cenderung berbunga-bunga atau terlalu mudah “diendus” maksudnya. Meski kebanyakan puisi-puisi Gus Mus juga “lugas” dan “mudah diketahui maksudnya” seperti puisi “Di Negeri Amplop”, tapi puisi-puisi Gus Mus—menurut saya—pilihan katanya benar-benar memiliki daya satra dan “magis”.

 

Karena itulah, sepanjang usia kepenulisan saya, hingga kini saya memosisikan diri sebagai penikmat sastra, baik novel maupun cerpen dan puisi. Seumur-umur saya tak pernah memupuk mimpi menulis novel atau punya buku antologi cerpen atau puisi. Terbersit sih pernah—tapi hingga sekarang belum juga gumregah dan punya greget untuk merealisasikannya.

 

Tapi atas “todongan” seseorang pegiat literasi nasional bernama Dr. Muhsin Kalida—yang juga seorang pakar psichowriter dan dosen UIN Sunan Kalijaga Kogjakarta, beberapa waktu lalu, akhirnya saya “dipaksa” atau “terpaksa” menulis puisi dan akhirnya 3 buah puisi saya masuk ke dalam sebuah buku antologi bersama. Judul bukunya “Samudra Ekspresi, Antologi Puisi”, diterbitkan oleh penerbit Ladang Kata Jogjakarta bekerja sama dengan Yasuka Institute, Juli 2021.   

 

Buku itu diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. H. Hanna, M.Pd., seorang pegiat literasi, pengurus pusat Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), dan guru besar Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Buku diberi endorsement oleh Duta Baca Indonesia, Gol A Gong dan penggagas buku tersebut, tak lain adalah Dr. Muhsin Kalida—yang “menodong” saya untuk ikut di “proyek penulisan” itu.

 

Berikut ini dua dari tiga puisi saya yang ada di dalam buku tersebut:

 

Asal-usul Aku Jatuh Cinta Pada Buku

 

di sebuah desa kecil

di sebuah madrasah sore

di sebuah ruang kelasnya

tersebutlah lemari buku tua

dengan ratusan buku-buku

di dalamnya

 

lemari buku itu

di pojokan kelas letaknya

di situlah aku biasa menghabiskan

waktu

saat teman-teman kecilku

asyik bermain gundu

aku lebih suka membaca buku

saat teman-teman kecilku asyik gegojekan

aku asyik melahap bacaan

 

aku selalu kagum

dengan cerita-cerita

di buku yang kubaca

seperti tentang regu pramuka

yang sukses menggulung komplotan penjahat

atau seorang anak yang berjasa pada kampungnya

 

bertahun buku di lemari itu

tak pernah bertambah

hingga aku lulus dari madrasah

mungkin, sampai kini

atau kini buku-buku itu sudah raib

aku tak tahu

 

tapi lemari buku di madrasah itu

tapi lemari buku di pojokan kelas itu

adalah tempat pertama kali

aku jatuh cinta pada buku

 

Bugel, Juni 2021

 

 

Sajak Kampung Halaman

 

berziarah ke kampung halaman

memungut serpihan tapak kenangan

yang menyerpih di pelataran madrasah

juga di sepanjang jalan dusun tanah tumpah darah

 

dulu, semua masih bersahaja

bermain jithungan di bawah terang purnama

bermain galasin, atau gobag sodor kami menyebutnya

di pelataran madrasah yang lumayan luasnya

 

dulu, hujan adalah kado dari langit

yang kami bisa pesta air dan bola
sungai lusi laksana bengawan surga

tempat berenang-renang dan berkejaran di bening airnya

 

sekarang, semua berlalu, zaman telah amat maju

tapak-tapak kenangan itu mulai sirna

anak-anak hanya karib dengan gawai

setan gepeng itu membius amatlah piawai

 

Berukudon, nama kampung halamanku

betapa pun tetaplah pelabuhan rindu

tempat aku pulang menenun kenangan

ihwal suatu masa pada zaman yang telah silam

 

Bugel, Juli 2019

 

Terlepas dari kualitas puisi saya yang “jauh panggang dari api” itu, tak apalah. Saya kira pembaca memaklumi, karena saya memang bukan serorang penyair hahaha.....tapi puisi saya di buku itu sempat mendapat komentar dari Gol A Gong yang bisa disimak di chanel YouTube-nya.

 

*Badiatu Muchlisin Asti, Citizen Journalist, Penulis Nonfiksi, bukan penyair.

Dr. Riadi Darwis dan Serial Gastronomi Sunda

Dr. Riadi Darwis dan Serial Gastronomi Sunda

Dr. Riadi Darwis dengan buku pertamanya. (Foto: merdeka.com)

Sebagai penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia, saya memang mengoleksi banyak buku kuliner dari para pakar dan pesohor di bidang kuliner seperti mendiang Bondan Winarno (berseri buku kulinernya lengkap saya koleksi), mendiang Julie ‘Nyonya Rumah’ Sutarjana--sang Gastronom Tiga Zaman, mendiang Tuti Soenardi--pakar di bidang gizi, William Wongso, Sisca Soewitomo, Murdijati Gardjito—pakar gastronomi UGM, dan banyak lagi.

 

Tak hanya karya para pesohor di blantika kuliner Indonesia, namun juga karya siapapun yang berkaitan dengan tema kuliner tradisional Indonesia, saya koleksi, baik buku-buku lawas—yang terbit jauh sebelum saya lahir, maupun buku-buku kuliner yang terbit setelah saya lahir hingga sekarang.

 

Salah satu sosok yang buku-buku karyanya saya koleksi dan saya nikmati betul adalah Dr. Riadi Darwis, M.Pd. Ia memang tidak sepopuler nama-nama yang saya sebutkan di awal. Namun sisi ketekunannya sebagai seorang dosen dan peneliti gastronomi, benar-benar membuat saya kagum.

 

Saya memang tidak mengenalnya secara khusus, apalagi bersua. Saya hanya penikmat yang menikmati karya-karyanya. Dan sesekali berinterasi di media sosial facebook—sekedar komen atau like statusnya.

 

Awal saya “berkenalan” dengannya adalah saat saya “menemukan” buku perdananya yang cukup tebal berjudul  Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon” yang diterbitkan oleh Penerbit Selaksa Media (Kelompok Intans Publishing) Malang, cetakan pertama Agustus 2019.

 

Waktu “menemukan” buku itu saya seperti mendapat durian runtuh. Buku semacam ini yang (di antaranya) saya cari. Buku yang menggali khazanah kuliner dari pelbagai manuskrip kuno. Buku semacam ini, bagi saya, setidaknya menunjukkan dua hal:

 

Pertama, leluhur kita era dulu sejatinya telah memiliki tradisi literasi yang baik, yang teruntai dalam banyak relief dan manuskrip kuno, yang jejaknya masih bisa kita telusur hingga saat ini.

 

Potongan resensi buku "Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon" di Jawa Pos Radar Madura, edisi Minggu, 5 Juni 2020.

Relief yang terdapat di Candi Borobudur, misalnya, ternyata banyak menyimpan cerita kehidupan di masa lampau—saat relief itu dibuat, yang salah satunya bercerita tentang pelbagai kuliner yang berkembang di masa itu—yang saat ini (sedang dan telah) dikembangkan menjadi wisata gastronomi melengkapi paket wisata Candi Borobudur.

 

Kedua, kajian kuliner tempo dulu signifikan untuk dilakukan guna menggali khazanah kuliner warisan leluhur yang mencerminkan banyak hal seperti kreativitas, nilai-nilai filosofis, kearifan lokal, strategi ketahanan pangan, dan sebagainya. Hasil kajiannya bisa menjadi referensi penting untuk meneguhkan budaya kuliner bangsa yang adiluhung dan pengembangan wisata gastronomi berbasis sejarah dan local genius (kearifan lokal) sebuah daerah.

 

Setelah membaca tandas buku itu, saya lanjut meresensinya dan tulisan resensi itu dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos Radar Madura edisi Minggu, 5 Juni 2020 dengan judul “Kuliner dalam Tradisi Keraton Kesultanan Cirebon”. Masih belum puas, lalu saya susuli tulisan resensi versi kedua dan dimuat di media Islam daring Alif ID edisi Minggu, 5 September 2021 dengan judul “Kuliner Etnik Sunda dalam Naskah Kuno dan Tradisi Keraton”.

 

Peneliti yang Tekun

Setelah buku  berjudul “Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon” terbit (2019), setahun kemudian pada September 2020, buku karyanya (yang kedua) kembali terbit. Kali ini berjudul “Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik” yang diterbitkan oleh penerbit UPI Press. Bukunya lebih tebal lagi dari buku pertamanya. Bila buku pertama “hanya” 554 halaman, buku keduanya ini mencapai 656 halaman dengan ukuran buku yang lebih besar.

 

Tahun 2021, harusnya terbit buku ketiganya, namun—sependek yang saya tahu, karena persoalan teknis, buku itu baru terbit Maret 2022 oleh penerbit UPI Press. Amazing-nya, buku ketiganya ini lebih “gila” lagi tebalnya.

 


Karena terlampau tebal, bahkan penerbit “harus” membaginya menjadi dua jilid. Judul buku ketiganya adalah “Serial Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)”. Jilid pertama setebal 734 halaman dan Jilid 2 setebal 336 halaman. Bila disatukan, buku itu bertebal lebih dari seribu halaman.

 

Boleh jadi secara kuantifikasi, karyanya belum banyak. Namun dari sisi bobot dan kekayaan data di dalam ketiga buku tersebut, sangat menunjukkan produktivitas, ghirah, dan ketekunan seorang Dr. Riadi Darwis yang sangat luar biasa. Membaca ketiga buku tersebut,  kita seperti diajak menuju ke lorong waktu, masuk ke “masa lalu”, menyigi pelbagai budaya kuliner dan khazanah kulinernya di zaman itu, secara “detail dan mendalam”.

 

Ketiga buku karya Dr. Riadi Darwis memang merupakan hasil riset dari pelbagai manuskrip dan naskah kuno, sehingga dihasilkan data terkait kosa kata dan ungkapan kuliner yang terbagi dalam berbagai klaster antara lain minuman, makanan, teknik kuliner, dan lain sebagainya.

 

Buku-buku Seri Gastronomi Tradisional Sunda karya Dr. Riadi Darwis yang saya koleksi. (Foto: dokumentasi pribadi)

Termasuk buku terbarunya yang berjudul “Serial Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)” yang baru saya terima hari ini (Kamis, 14/07/2022). Saya memang belum membacanya, tapi dari sekilas daftar isi yang saya baca, buku ini menyigi khazanah lalab—yang sangat populer dalam budaya kuliner Sunda, rujak, sambal, dan ték-ték dalam berbagai prasasti masa klasik dan naskah sunda kuno.

 

Ternyata, sebagaimana ditulis Dr. Riadi Darwis dalam buku terbarunya (Jilid 1), tradisi menyantap lalab di kawasan Pulau Jawa sudah tercatat dalam sejumlah prasasti. Ditengarai pada abad ke-9 atau ke-10 Masehi, hal tersebut sudah tercatat.

 

Saat ini lalaban atau lalapan menjadi budaya kuliner yang identik dengan masyarakat Sunda. Penelitian Prof. Unus Suriawiria sampai tahun 2000—sebagaimana yang dikutip Prof. Murdijati Gardjito dalam buku Kuliner Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyebutkan, ditemukan tidak kurang 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.

 

Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis ini menghadirkan data yang lebih banyak lagi. Berdasarkan hasil telusur melalui sejumlah referensi maupun observasi, dalam buku terbarunya (Jilid 2), Dr. Riadi Darwis menyajikan sejumlah 718 jenis tanaman lalab yang hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.

 

Buku terbaru 2 jilid karya Dr. Riadi Darwis ini sangat menarik. Saya sedang “menyiapkan” energi untuk melahap buku tebal yang terbagi dalam dua jilid ini. Agar bisa menyerap gizi buku tebal—hasil riset mandiri selama 31 tahun—ini secara lebih maksimal. Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis, yang tak berlebihan bila saya sebut sebagai "Sang Gastronom dari Tatar Sunda". 

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist yang penikmat (sejarah) kuliner Indonesia.

Mengenal Eko Supa, Pelukis Karikatur Kelas Dunia dari Grobogan

Mengenal Eko Supa, Pelukis Karikatur Kelas Dunia dari Grobogan

Eko Supa, seniman lukis karikatur dari Grobogan. [Foto: Wahyu K]

Tubuhnya gemuk. Kalau bicara pelan. Saya bertemu dengannya saat menghadiri kegiatan Nggambar Bareng Palipuro di Alun-alun Purwodadi akhir bulan Mei 2022 lalu. Sembari menggoreskan kuas ke media gambar di depannya, ia meladeni saya berbincang.

 

Nama lengkapnya Eko Suparyanto, namun di panggung lukis yang digelutinya, ia populer dengan nama Eko Supa. Pria kelahiran Grobogan, 2 April 1982 ini memang dikenal sebagai seorang pelukis, spesialis karikatur. Bukan sekelas pelukis temeh-temeh, tapi lukisannya sudah menjelajah dari pameran-pameran berkelas, lokal, regional, nasional, hingga internasional.  

 

Minatnya di bidang seni lukis sudah sejak  dari kecil. Tapi mulai menekuni dunia seni lukis secara profesional sejal lulus dari SMA  PGRI Purwodadi. Ia bertolak ke Jogjakarta untuk belajar seni lukis secara lebih intens.

 


Di Kota Gudeg itu, ia belajar seni lukis dari para pelaku seni rupa di sepanjang Jalan Malioboro. Jogjakarta rupanya membuatnya betah berlama-lama menimba ilmu dan menekuni dunia seni lukis. Setidaknya tercatat tujuh tahun ia tinggal di Jogjakarta sejak tahun 2002 hingga 2009.

 

Di Jogjakarta itulah kemampuan seni lukisnya terasah dengan baik. Ia ikut pameran demi pameran dan percaya diri menjual lukisannya. Lukisan pertamanya berupa gambar harimau terjual Rp 750 ribu.

 

Eko Supa pun semakin mantap menapaki profesi sebagai seorang seniman lukis. Berbagai aliran seni lukis pernah ia pelajari dan tapaki. Mulai dari aliran realis, naturalis, ekspresif, impresif, dan lain-lain. Hingga kemudian ia memantapkan diri cenderung memilih seni lukis gaya karikatur—yaitu seni lukis yang menggambarkan suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.

 

Pameran Tunggal

Setelah aktif mengikuti sejumlah pameran, Eko Supa menjadi lebih percaya diri, ia pun menghelat pameran tunggal. Pameran tunggal pertamanya diadakan di Galeri Hadiprana Jakarta tahun 2009 dengan mengusung tema “Orde Batik” yang menggambarkan tokoh-tokoh internasional dalam busana batik. 

 

Pameran tunggal itu nampaknya menjadi titik balik bagi Eko Supa untuk menunjukkan reputasinya sebagai seorang seniman lukis berkelas. Tahun 2010, lukisannya menjadi finalis Jakarta Art Awards dan Indonesia Art Awards. Tahun-tahun berikutnya secara beruntun, yaitu tahun 2011, 2012, dan 2015, lukisannya menjadi finalis UOB Painting of the Year Indonesia, menyisihkan ribuan lukisan yang dikompetisikan.

 

Lukisan bertajuk "Spirit Selendang" karya Eko Supa

Tahun 2018, lukisannya bertajuk “Spirit Selendang” termasuk yang dipamerkan dalam Pameran Temporer Museum Basoeki Abdullah bertema “Spirit Potret”. Pada pameran itu, Eko Supa bersama sekitar 30 seniman lukis se-Indonesia—yang lukisannya terpilih, diminta untuk melukis  karya maupun karakter Basoeki Abdullah dengan eksplorasi sesuai aliran dan imajinasi masing-masing.

 

Saat itu Eko Supa membuat lukisan karikatur yang menggambarkan Basoeki Abdullah masuk ke dalam lukisan “Jaka Tarub”—sebuah lukisan yang pernah dibuat oleh Basoeki Abdullah berdasarkan cerita rakyat tentang Jaka Tarub dan 7 Bidadari. 

 

Dalam lukisannya, Eko Supa menggambarkan karakter Basoeki Abdullah yang mengambil selendang bidadari, sehingga karya lukisannya itu diberi tajuk “Spirit Selendang” dan terpajang di katalog galeri tersebut. 

 

Satu Lukisannya Terjual Rp 35 Juta

Setelah malang melintang di Jogjakarta, Eko Supa harus pulang ke kampung halamannya di Kota Purwodadi. Ia pulang karena harus menunggui ibunya. Namun, hal itu tak membuatnya lantas vakum dari dunia lukis. Ia tetap produktif. Hingga saat ini, Eko Supa masih terus aktif sebagai pelukis bebas yang mengolah karakter karikatural tokoh-tokoh dunia.

 

Apalagi dunia seni lukis boleh dibilang sudah menyatu dalam hidup dan kehidupannya. Seni lukis menjadi mata pencahariannya. Sepanjang karir sebagai seniman lukis, Eko Supa mengaku, satu lukisannya pernah terjual hingga seharga Rp 35 juta.

 

Menurutnya, itu belum seberapa dibanding pelukis-pelukis lainnya yang sudah lebih tersohor yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk satu buah lukisan. Namun ia tetap bersyukur dengan apa yang telah dicapainya hingga seperti sekarang.

 

Bulan Desember 2018, ia bersama dua seniman lukis Purwodadi lainnya, yaitu Didik Budiarto dan Andi Kebo, membidani lahirnya sebuah komunitas seniman lukis Purwodadi bernama Palipuro yang merupakan kepanjangan dari “Perkumpulan Pelukis Purwodadi Grobogan”. 

 

Ia berharap, lahirnya komunitas ini menjadikan seniman lukis Grobogan lebih memiliki pengaruh di kancah seni lukis nasional maupun internasional, serta memiliki kontribusi bagi citra positif daerah.

 

Simak video perbincangan saya dengan Eko Supa di rumahnya di daerah Kebondalem, Purwodadi, Grobogan:

 


 *Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist     

     

Saya, Menyanyi, dan Cover Lagu (2)

Saya, Menyanyi, dan Cover Lagu (2)

Saat rekaman cover lagu "Sesungguhnya" karya Raihan. [Foto: dokumen pribadi]

Akhir tahun 1990-an, saya mulai mengenal lagu-lagu nasyid di luar Nasida Ria Semarang. Berbagai group nasyid, dalam maupun luar negeri, mulai saya kenal—dan menjadi genre lagu yang menjadi hiburan ‘baru’ saya. Snada (Indonesia) dan Raihan (Malaysia) adalah dua group nasyid yang berhasil ‘mencuri’ hati saya.

 

Saya pun membeli kaset-kaset album mereka. Namun dibanding Snada, Raihan adalah group nasyid paling saya gemari yang—boleh dibilang—hampir semua album  yang mereka keluarkan saya beli, sejak era kaset hingga era CD. Mulai dari album pertama Puji-pujian (1996), Syukur (1998), Senyum (1999), Demi Masa (2001), Gema Alam (2003), Allahu (2004), dan Ameen (2005).

 

Hanya tiga album terakhir yaitu Tawakal (2006), The Spirit of Shalawat (2008) dan Zikir Theraphy (2011) saya tidak membelinya. Boleh jadi karena saya merasa kualitas perfoma Raihan menurun sejak ditinggalkan vokalis utamanya, Nazrey Johani, pada tahun 2006. Tahun 2007, Raihan sempat memiliki vokalis baru bernama Zulfadli Mustaza.

 

Kendati demikian, saya tetap menyimak perkembangan group nasyid yang didirikan pada Oktober 1996 dengan formasi personel lengkap: Nazrey Johani (vokalis), Azhari Ahmad, Abubakar Md. Yatim, Che Amran Idris, dan Amran Ibrahim. 

 

Dua personel Raihan yaitu Azhari Ahmad meninggal dunia tahun 2001 dan Nazrey Johani, sang vokalis, keluar tahun 2006. Sehingga praktis kini personel Raihan tinggal tersisa tiga, yaitu  Abu Bakar, Che Amran, dan Amran Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap eksis meski belum lagi mengeluarkan album atau single terbaru—kecuali mereproduksi lagu-lagu mereka dengan arrangement baru.

Raihan formasi lengkap, dari kiri Azhari Ahmad (alm), Che Amran Idris, Nazrey Johani, Amran Ibrahim, dan Abu Bakar Md. Yatim. [Foto: istimewa]

 Raihan, Legenda Nasyid Dunia

Bagi saya, Raihan adalah legenda nasyid dunia yang belum tertandingi oleh group nasyid manapun hingga sekarang. Kehadirannya, hemat saya, serupa Rhoma Irama di Indonesia—yang bila Rhoma Irama menjadi legenda dalam musik dangdut, maka Raihan adalah legenda dalam musik religi—yang lagu-lagunya tetap asyik dinikmati khalayak sepanjang masa.

 

Pada masa kejayaannya, lagu-lagu Raihan banyak yang menjadi hits dan kaset maupun CD album mereka laku keras, termasuk di Indonesia. Tercatat, Raihan pernah mendapatkan double platinum untuk album Demi Masa. Raihan sering diundang untuk konser di seantero dunia, di antaranya di Hongkong, Kanada, Prancis, Rusia, dan Inggris. Saat konser di Inggris, Raihan diberikan penghargaan oleh Ratu Elizabeth II.

 

Seperti lagu-lagu karya Rhoma Irama, lagu-lagu Raihan juga tetap enak dinikmati hingga kini. Tema-temanya antara lain tentang akidah, ibadah, akhlak, sejarah, pendidikan, dan kemanusiaan, dengan syair-syair yang mudah dipahami serta seni lagu yang asyik dinyanyikan. Sehingga saya pun banyak hafal lagu-lagu Raihan.

 

Di antara lagu Raihan yang banyak saya hafal, ada yang menjadi favorit saya, antara lain: Kita Hamba, Sesungguhnya, Iman Mutiara, Kabar Iman, Damba Cinta-Mu, Carilah Cinta, dan sebagainya.

 




Selain Raihan, juga Snada, banyak group nasyid lainnya yang saya suka, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Namun, seperti biasanya, saya tidak begitu memfavoritkan group—dalam arti lebih ke menyukai lagunya yang asyik didengar dan syair lagunya yang menyentuh hati.

 

Beberapa group nasyid dari Indonesia yang beberapa lagunya saya suka antara lain: The Fikr, Tazakka, Edcoustic, Seismic, Shoutul Harakah, dan Izzatul Islam. Adapun group nasyid dari Malaysia yang beberapa lagunya saya suka antara lain: Unic, Inteam, Hijaz, Rabbani, dan Saujana.

 

Pandemi Covid-19 dan Cover Lagu

Sebagai penikmat lagu, saya tidak pernah menyanyikannya ke publik, di acara sekecil apapun. Kalau saya menyanyi, itu pun lirih, hanya untuk kepentingan diri sendiri—di kala sendiri pula hahaha....

 

Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia, juga Indonesia, menghentak kita semua—termasuk saya. Jelang Indonesia ditetapkan sebagai wilayah terpapar Covid-19 dan warganya dinyatakan untuk stay at home, saya masih mengisi sebuah pelatihan menulis di sebuah hotel.  

 

Jadwal pelatihan 5 hari baru berjalan 2 hari, sehingga 3 hari selanjutnya harus di-cancel dulu akibat kebijakan stay at home dan larangan berkerumun—dan kemudian akhirnya diadakan secara daring melalui zoom meeting

 


 

Beberapa bulan di awal pandemi, saya dan seluruh anggota keluarga (anak saya yang di pesantren juga dipulangkan) benar-benar stay at home. Hal itu membuat banyak waktu luang.

 

Akhirnya di sela aktivitas membaca, menulis, beribadah, bercengkerama dengan keluarga, saya bisa menyisihkan aktivitas ‘baru’: yaitu menyanyi di ruang kerja haha.... Dari aktivitas ‘baru’ itulah, atas dorongan seorang kawan, saya memberanikan diri untuk mengcover lagu.

 

Kebetulan ada lagu religi yang tengah viral ketika itu dan saya menyukai lagu tersebut, yaitu lagu berjudul Aisyah, dipopulerkan oleh Mr. Bie. Setelah memantapkan diri bisa menyanyikannya dengan relatif baik—versi saya tentu saja, maka saya pun menjadwalkan rekaman di sebuah studio music di Semarang. Saya diantar oleh seorang teman, namanya Teguh Santoso—dosen sebuah perguruan tinggi swasta di Ungaran, yang telah terlebih dulu biasa rekaman cover lagu di studio tersebut.

 

Rekaman itu adalah untuk pertama kalinya saya ke studio, untuk pertama kalinya saya nyanyi agak serius satu lagu utuh (haha...), dan untuk pertama kalinya saya rekaman. Awalnya agak ndredeg juga. Take ulang berkali-kali. Tapi akhirnya, rekaman pertama berjalan sukses, meski saya masih merasa kurang percaya diri.     


 

Setelah rekaman pertama lagu Aisyah—dengan versi lirik yang sedikit saya gubah (akan saya ceritakan di tulisan tersendiri, insya Allah), lalu disusul cover lagu berikutnya, yaitu lagu Bidadari Surga-nya Ustaz Jefri Al-Buchori, lalu Wahai Seorang Kekasih-nya Nazrey Johani, Suci Sekeping Hati-nya Saujana, dan terakhir lagu Sesungguhnya Raihan.

 

Seiring kehidupan yang mulai (kembali) normal, saya sudah tidak lagi menyisihkan waktu menyanyi, kecuali sekedarnya saja di sela kerja. Namun kelima lagu cover tersebut, bisa ditonton di channel YouTube saya: Badiatul Muchlisin Asti. Saya akan senang bila Anda berkenan menontonnya dan meninggalkan jejak di kolom komentar hahaha....Demikian sedikit cerita tentang saya, lagu, dan cover lagu. 

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Bookpreneur dan Citizen Jornalist.   

Saya, Menyanyi, dan Cover Lagu (1)

Saya, Menyanyi, dan Cover Lagu (1)

Saat rekaman untuk cover lagu Bidadari Surga-nya Ust. Jefri Al-Buchori. [Foto: dokumen pribadi]

Saya akui, sejak kecil saya suka lagu—sekadar sebagai penikmat. Dan sebagai anak kamso (kampungan dan ndeso), memori saya tentang lagu-lagu yang saya sukai sumbernya adalah radio dan televisi (baca: TVRI) yang memang merupakan sumber utama hiburan ketika itu.

 

Masa kecil dan remaja saya lakoni pada rentang masa tahun 1980-an dan 1990-an. Soal lagu, saya tidak memfavoritkan genre lagu tertentu. Asal nadanya asyik dan syairnya syahdu—mengena di hati saya, saya suka. Karena itu, saya punya banyak memori lagu-lagu favorit secara pribadi lintas genre, baik dangdut, pop, dan nasyid—yang dulu diwakili oleh Nasida Ria Semarang.

 

Sampai sekarang, saya masih banyak hafal dan mampu mendendangkan sebagian besar lagu-lagu dangdut favorit saya—kebanyakan lagu-lagu yang dibawakan Evi Tamala seperti Lilin-lilin Putih, Luka di Atas Luka, Sedingin Salju, Selamat Malam, Rembulan Malam, Senandung Rembulan, Kandas, dan sebagainya.

 

Harus saya akui, di antara pedangdut yang lagunya banyak (tidak semua) saya favoritkan adalah Evi Tamala. Sedang pedangdut lain hanya lagu-lagu tertentu saja seperti Ine Sinthya saya suka lagunya yang berjudul Memori Daun Pisang dan Prasangka; Ikke Nurjanah Cinta dan Dilema;  Cici Paramida Wulan Merindu; dan sebagainya.

 

Untuk pedangdut pria, Rhoma Irama-lah yang harus saya sebut. Pasalnya, saat saya kecil, dua orang kakak sepupu saya yang tinggalnya sebelah rumah, sangat menyukai lagu-lagu Rhoma Irama. Kata mereka kepada saya ketika itu, ibarat pepatah “tidak ada rotan, akar pun jadi”— lagu-lagu Rhoma Irama adalah rotan, dan lagu-lagu penyanyi lainnya adalah akar. Begitulah mereka mengibaratkan posisi Rhoma di hati mereka dibanding pedangdut lainnya.

 

Meski demikian, sebagaimana penyanyi lainnya, tak semua lagu-lagu Rhoma saya suka. Hanya beberapa lagu saja seperti Raib, Tabir Kepalsuan,  Pertemuan, dan Bahtera Cinta. Saya memang cenderung menyukai lagu-lagu bertema roman. 

 


 

Lagu Pop, Sejak Tito Sumarsono Hingga Poppy Mercury

Sebagaimana dangdut, saya juga tidak fanatik pada penyanyi pop tertentu. Saya menyukai lagunya—yang nada dan syairnya pas meresap di hati saya. Makanya, saya punya memori lagu-lagu tertentu yang saya suka dari banyak lagu pop lawas yang populer ketika itu.

 

Saya hafal dan suka lagu-lagu seperti Di Puncak Bukit Hijau-nya Jayanthi Mandasari; Maria-nya Julius Sitanggang; Kisah Kasih di Sekolah-Nya Obbie Messakh; bahkan hafal trilogi lagu Hati yang Luka karangan Obbi Messakh meliputi Hati yang Luka (dinyanyikan Betharia Sonata), Penyesalan (jawaban untuk lagu Hati yang Luka, dinyanyikan Obbie Mesakh sendiri) dan  Tiada Duka Lagi (dinyanyikan duet Betharia Sonata dan Obbie Mesakh).

 

Selain itu ada lagu-lagu yang populer setelahnya yang saya suka antara lain: Aku Sayang Kamu-nya Cindy Claudia Harahap; Cintaku Tak Terbatas Waktu-nya Annie Carera, dan Kasih-nya Ismi Aziz. Lalu, lagu-lagu yang didendangkan Poppy Mercuri seperti Pelangi Cinta, Tragedi Antara Kuala Lumpur – Penang,  Antara Jakarta dan Penang, Surat Undangan, Hati yang Luka, Terlambat Sudah, dan lainya.

 

Lagu-lagu pop lainnya yang saya suka: Untukmu dan Tuhan Tolonglah-nya Tito Sumarsono, Dinda di Mana-nya Katon Bagaskara, dan Sanggupkah Aku-nya Andy Liany. Untuk lagu-lagu yang dibawakan group musik, favorit saya antara lain: Kangen-nya Dewa 19, Tataplah-nya Cool Colour, Bukan Pujangga-nya Base Jam, Yogyakarta-nya Kla Project, Cerita Cinta-nya Kahitna, Mungkinkah dan Cinta Suci-nya Stinky, dan lain sebagainya.

 

Nasida Ria, Kenangan Bersama Bapak

Nasida Ria, group kasidah legendaris dari Semarang. [Foto: istimewa]

Adapun lagu-lagu nasyid--tepatnya kasidah, tak banyak ketika itu. Yang saya kenal hanya Nasida Ria Semarang yang sangat populer di masa kecil saya. Bapak saya yang secara tidak sengaja memperkenalkannya. Di rumah, bapak sering memutar lagu-lagu Nasida Ria dari radio tape yang beliau punya.

 

Dari situlah, saat bapak memutar kaset Nasida Ria, mau tak mau, saya ikut mendengarkannya dan sebagian secara tak sadar saya hafal liriknya. Lagu-lagu Nasida Ria seperti Jilbab Putih, Tahun 2000, Kota Santri, Perdamaian, dan lain-lain, sangat akrab di telinga saya dan sangat memorable.

 

Lagu-lagu Nasida Ria tak melulu religi, tapi juga ada yang bertema roman cinta, di antaranya yang sangat saya hafal ketika itu adalah sebuah lagu berjudul Tergila-gila, penggalan syairnya sebagai berikut:

 

Seindah-indah bulan purnama, lebih indah wajahnya

Semanis-manisnya madu, lebih manis senyumnya

Duh aduh aku tak tahan, kala ia memandangku

Hati rasa begetar, berdenyut-denyut jantungku

Dia tersenyum mesra, dengan ramah menyapaku

Bingung bingung, aku bingung, tersipu malu  

 

Boleh dikata, ketika itu, Nasida Ria merupakan satu-satunya group musik religi yang paling masyhur. Sebagai anak yang lahir dari keluarga dengan iklim religius, mau tidak mau, saya mengenal lagu-lagu Nasida Ria yang hingga saat ini masih direproduksi juga dicover oleh banyak group-group  musik religi.

 

Ketika itu, lagu-lagu religi dari Nasida Ria banyak diputar saat pesta hajatan warga, terutama di perdesaan, antara lain di acara mantenan atau walimatul ‘ursy. Syahdunya ketika itu....

 

Menggemari Nasyid

Tahun-tahun terakhir di pengujung tahun 1990-an, saya mulai menyukai lagu-lagu religi atau nasyid dengan tema religi yang lebih kental yang booming ketika itu, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Genre nasyid inilah yang sangat membekas di hati saya, yang berpuluh tahun kemudian ketika pageblug Covid-19 mengguncang dunia dan masyarakat harus stay at home, saya merasa perlu ada hiburan, salah satunya menyalurkan “hobi terpendam” saya, yaitu: menyanyi.

 

Lagu nasyid yang saya pilih. Kenapa saya memilih nasyid? Apa dan bagaimana saya kemudian “memberanikan diri” mengcover lagu nasyid? Simak di tulisan berikutnya ya. (Bersambung).  

 

*Badiatul Muchlisin Asti, Bookpreneur dan Citizen Journalist

Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) Al-Kasaw di Rumah Sehat Thakza Wirosari Grobogan

Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) Al-Kasaw di Rumah Sehat Thakza Wirosari Grobogan

 

Ustaz Riyanto, PAZtrooper yang membuka layanan penyembuhan dengan metode PAZ Al Kasaw. [Foto: Wahyu K]

Rumah Sehat Thakza beralamat di Dusun Keliling RT 01 RW III, Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Lokasinya persis di seberang lapangan Bantolo Sakti. Rumah Sehat Takzha dikelola oleh Ustaz Riyanto—saya biasa memanggilnya Riyanto saja, seorang praktisi thibbun nabawi yang juga seorang ustaz (guru) di SDIT Ar-Risalah Wirosari.

 

Secara pribadi, saya sudah lama mengenal pengelola Rumah Sehat Takzha itu. Akhir tahun 1999, ketika saya mendirikan Forum Remaja Madani (Formad)—sebuah wadah dakwah dan pemberdayaan remaja muslim di Kecamatan Wirosari dan sekitarnya, Riyanto adalah salah satu anggota aktif.

 

Saat itu Riyanto masih seorang pelajar SMA, yaitu di SMA Al-Islam Wirosari. Riyanto aktif juga di majlis taklim remaja yang saya asuh, yaitu di Kelompok Kerja Majlis Taklim (KKMT) Formad yang anggotanya adalah para pelajar SMP dan SMA dari lintas sekolah di Kecamatan Wirosari dan sekitarnya.

 

Saya tidak lagi mengasuh KKMT Formad saat saya harus ‘hijrah’ ke kecamatan lain karena menikah pada tahun 2003. Tapi saya masih sering kontak dengan Riyanto, namun jarang ketemu. Sampai kemudian ia kuliah dan kemudian mengajar di sebuah SDIT di Wirosari sampai sekarang. 

 

Bahkan saya ketahui, ia juga menjadi seorang praktisi thibbun nabawi, di antaranya membuka layanan penyembuhan melalui bekam (al-hijamah), selain juga seorang pelatih Taekwondo.

 

Menjadi PAZtrooper

Perkembangan terkini, Riyanto juga ikut pelatihan sebuah metode pengobatan yang ditemukan oleh Ustaz Haris Moejahid rahimahullah, yang saat ini sedang populer-populernya, yaitu Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) Al-Kasaw. Dan saat ini Riyanto membuka layanan penyembuhan melalui metode tersebut di rumahnya yang sekaligus dijadikan tempat ‘klinik’-nya—yang ia sebut dengan Rumah Sehat Thakza.

 

Saya sudah beberapa kali silaturahmi ke ‘klinik’-nya, bahkan telah melihat bagaimana Riyanto menerapi ‘pasien’-nya dengan bekam maupun dengan metode PAZ Al-Kasaw. Bahkan saya sendiri sudah merasakan dibekam dan diterapi dengan metode PAZ oleh Riyanto.

 

Ustaz Riyanto saat menerapi saya dengan metode PAZ Al-Kasaw. [Foto: Wahyu K]

PAZ Al-Kasaw sendiri adalah terapi atau metode pengobatan berbasis perbaikan rangka tubuh manusia yang ditemukan oleh Allahu yarham Ustadz Haris Moejahid, alumni Technische Universiteit Delft jurusan Aeronoutical Enginering (spesialisasi struktur dan rangka pesawat terbang), Belanda.

 

Bentuk pengobatannya melalui berbagai gerakan dalam rangka memperbaiki rangka tubuh yang menjadi sumber keluhan pelbagai penyakit—yang bisa dipelajari oleh siapapun. Hingga saat ini lebih dari 12 ribu orang yang sudah mempelajari metode penyembuhan ini dan telah banyak masyarakat yang terbantu penyembuhan atas penyakit yang diderita melalui wasilah terapi ini, biiznillah

 

Sehingga boleh dibilang, PAZ Al Kasaw ini merupakan ikhtiar agar setiap muslim bisa memiliki ketrampilan menyelesaikan aneka penyakit dengan cara-cara yang sederhana, praktis, bisa diterapkan kapan saja dan di mana saja, hasilnya cepat, tanpa butuh alat khusus, serta tanpa jimat, tanpa rapalan mantra, dan bebas dari kesyirikan. Slogan PAZ Al-Kasaw adalah tanpa operasi, tanpa obat, tanpa alat, dan tanpa jimat.

 

Bagi saudara-saudara kamu muslimin di manapun berada yang membutuhkan infomasi tentang PAZ Al-Kasaw, baik karena ingin mencari wasilah kesembuhan maupun karena tertarik mendalami ilmu PAZ, bisa mengunjungi website resmi PAZ Al-Kasaw, yakni di: https://pazindonesia.com/

 

Atau yang berada di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan dan sekitarnya bisa menghubungi Rumah Sehat Thakza yang beralamat di Dusun Keliling RT 01 RW III, Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Nomor WhatsApp: 085292727070

 

Tonton video kami tentang Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) Al-Kasaw di Rumah Sehat Thakza Wirosari:

 


 *Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist & Peminat Kajian Thibbun Nabawi