Memandu sarasehan penggiat sosial Grobogan di acara Gebyar Muharram 1444 H.
Sabtu (30/7/2022), saya menghadiri acara Satunan Anak Yatim
dalam rangka Gebyar Muharram 1444 H yang diselenggarakan oleh BAZNAS Kabupaten
Grobogan dan Forum Komunikasi Penggiat Sosial Grobogan (FKPSG) di Pendopo
Kabupaten Grobogan. Acara dihadiri
Bupati Grobogan Hj. Sri Sumarni, Ketua BAZNAS Kabupaten Grobogan Ari Widodo,
dan Ketua FKPSG Ipda Supardi, SH.
Sumber ilustrasi: thumbnail di channel YouTube GolAGong TV
Sejak menekuni dunia kepenulisan pada tahun 1994, saya merasa
“gak berbakat” menulis tulisan jenis fiksi. Saya lebih enjoy menulis
nonfiksi. Tulisan pertama saya juga dalam bentuk artikel, dimuat di majalah Rindang
edisi Juni 1994. Judulnya “Krisis Pergaulaan Remaja Modern”. Rindang
adalah majalah bulanan yang diterbitkan oleh Departeman Agama (Depag) Jawa
Tengah. Sekarang sudah tidak terbit.
Seterusnya, hingga sekarang, yang saya tulis juga
tulisan-tulisan nonfiksi antara lain dalam bentuk: opini, esai, berita (liputan
kegiatan), feature, resensi, dan lain sebagainya. Seingat saya, sekali saya
pernah menulis cerkak (cerita cekak) alias cerpen berbahasa Jawa dan dimuat di majalah
Jaya Baya. Edisi berapa dan tahun berapa saya lupa. Hanya yang saya
ingat adalah judulnya, “Episode Cinta”—karena isinya memang cerita roman remaja
dan dimuat di rubrik Roman Secuil.
Kalau puisi? Saya sudah koleksi dan membaca berulangkali buku-buku
antologi puisi karya penyair bereputasi nasional maupun lokal, seperti Gus Mus,
Rendra, D Zawawi Imron, dan lain sebagai, tapi saya merasa selalu “gagal” dan “tak
percaya diri” setiap kali menulis puisi.
Puisi saya cenderung berbunga-bunga atau terlalu mudah “diendus”
maksudnya. Meski kebanyakan puisi-puisi Gus Mus juga “lugas” dan “mudah
diketahui maksudnya” seperti puisi “Di Negeri Amplop”, tapi puisi-puisi Gus Mus—menurut
saya—pilihan katanya benar-benar memiliki daya satra dan “magis”.
Karena itulah, sepanjang usia kepenulisan saya, hingga kini
saya memosisikan diri sebagai penikmat sastra, baik novel maupun cerpen dan
puisi. Seumur-umur saya tak pernah memupuk mimpi menulis novel atau punya buku antologi
cerpen atau puisi. Terbersit sih pernah—tapi hingga sekarang belum juga gumregah
dan punya greget untuk merealisasikannya.
Tapi atas “todongan” seseorang pegiat literasi nasional
bernama Dr. Muhsin Kalida—yang juga seorang pakar psichowriter dan dosen
UIN Sunan Kalijaga Kogjakarta, beberapa waktu lalu, akhirnya saya “dipaksa”
atau “terpaksa” menulis puisi dan akhirnya 3 buah puisi saya masuk ke dalam
sebuah buku antologi bersama. Judul bukunya “Samudra Ekspresi, Antologi
Puisi”, diterbitkan oleh penerbit Ladang Kata Jogjakarta bekerja sama
dengan Yasuka Institute, Juli 2021.
Buku itu diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. H. Hanna,
M.Pd., seorang pegiat literasi, pengurus pusat Gerakan Pemasyarakatan Minat
Baca (GPMB), dan guru besar Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Buku diberi endorsement
oleh Duta Baca Indonesia, Gol A Gong dan penggagas buku tersebut, tak lain
adalah Dr. Muhsin Kalida—yang “menodong” saya untuk ikut di “proyek penulisan” itu.
Berikut ini dua dari tiga puisi saya yang ada di dalam buku
tersebut:
Asal-usul Aku Jatuh
Cinta Pada Buku
di sebuah desa kecil
di sebuah madrasah sore
di sebuah ruang
kelasnya
tersebutlah lemari buku
tua
dengan ratusan
buku-buku
di dalamnya
lemari buku itu
di pojokan kelas
letaknya
di situlah aku biasa
menghabiskan
waktu
saat teman-teman
kecilku
asyik bermain gundu
aku lebih suka membaca
buku
saat teman-teman kecilku
asyik gegojekan
aku asyik melahap
bacaan
aku selalu kagum
dengan cerita-cerita
di buku yang kubaca
seperti tentang regu
pramuka
yang sukses menggulung
komplotan penjahat
atau seorang anak yang
berjasa pada kampungnya
bertahun buku di lemari
itu
tak pernah bertambah
hingga aku lulus dari
madrasah
mungkin, sampai kini
atau kini buku-buku itu
sudah raib
aku tak tahu
tapi lemari buku di
madrasah itu
tapi lemari buku di
pojokan kelas itu
adalah tempat pertama
kali
aku jatuh cinta pada
buku
Bugel, Juni 2021
Sajak Kampung Halaman
berziarah ke kampung
halaman
memungut serpihan tapak
kenangan
yang menyerpih di
pelataran madrasah
juga di sepanjang jalan
dusun tanah tumpah darah
dulu, semua masih
bersahaja
bermain jithungan di
bawah terang purnama
bermain galasin, atau gobag
sodor kami menyebutnya
di pelataran madrasah
yang lumayan luasnya
dulu, hujan adalah kado
dari langit
yang kami bisa pesta
air dan bola
sungai lusi laksana bengawan surga
tempat berenang-renang
dan berkejaran di bening airnya
sekarang, semua berlalu,
zaman telah amat maju
tapak-tapak kenangan
itu mulai sirna
anak-anak hanya karib
dengan gawai
setan gepeng itu
membius amatlah piawai
Berukudon, nama kampung
halamanku
betapa pun tetaplah
pelabuhan rindu
tempat aku pulang
menenun kenangan
ihwal suatu masa pada
zaman yang telah silam
Bugel, Juli 2019
Terlepas dari kualitas
puisi saya yang “jauh panggang dari api” itu, tak apalah. Saya kira pembaca
memaklumi, karena saya memang bukan serorang penyair hahaha.....tapi puisi saya di buku
itu sempat mendapat komentar dari Gol A Gong yang bisa disimak di chanel
YouTube-nya.
*Badiatu Muchlisin
Asti, Citizen Journalist, Penulis Nonfiksi, bukan penyair.
Dr. Riadi Darwis dengan buku pertamanya. (Foto: merdeka.com)
Sebagai penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia,
saya memang mengoleksi banyak buku kuliner dari para pakar dan pesohor di
bidang kuliner seperti mendiang Bondan Winarno (berseri buku kulinernya lengkap
saya koleksi), mendiang Julie ‘Nyonya Rumah’ Sutarjana--sang Gastronom Tiga Zaman, mendiang Tuti Soenardi--pakar di bidang gizi,
William Wongso, Sisca Soewitomo, Murdijati Gardjito—pakar gastronomi UGM, dan
banyak lagi.
Tak hanya karya para pesohor di blantika kuliner Indonesia,
namun juga karya siapapun yang berkaitan dengan tema kuliner tradisional
Indonesia, saya koleksi, baik buku-buku lawas—yang terbit jauh sebelum saya lahir, maupun
buku-buku kuliner yang terbit setelah saya lahir hingga sekarang.
Salah satu sosok yang buku-buku karyanya saya koleksi dan saya
nikmati betul adalah Dr. Riadi Darwis, M.Pd. Ia memang tidak sepopuler nama-nama
yang saya sebutkan di awal. Namun sisi ketekunannya sebagai seorang dosen dan peneliti
gastronomi, benar-benar membuat saya kagum.
Saya memang tidak mengenalnya secara khusus, apalagi
bersua. Saya hanya penikmat yang menikmati
karya-karyanya. Dan sesekali berinterasi di media sosial facebook—sekedar
komen atau like statusnya.
Awal saya “berkenalan” dengannya adalah saat saya “menemukan”
buku perdananya yang cukup tebal berjudul “Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah
Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon” yang diterbitkan oleh Penerbit Selaksa
Media (Kelompok Intans Publishing) Malang, cetakan pertama Agustus 2019.
Waktu “menemukan” buku itu saya seperti mendapat durian
runtuh. Buku semacam ini yang (di antaranya) saya cari. Buku yang menggali khazanah
kuliner dari pelbagai manuskrip kuno. Buku semacam ini, bagi saya, setidaknya menunjukkan
dua hal:
Pertama, leluhur kita era dulu sejatinya telah
memiliki tradisi literasi yang baik, yang teruntai dalam banyak relief dan
manuskrip kuno, yang jejaknya masih bisa kita telusur hingga saat ini.
Potongan resensi buku "Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon" di Jawa Pos Radar Madura, edisi Minggu, 5 Juni 2020.
Relief yang terdapat di Candi Borobudur, misalnya, ternyata
banyak menyimpan cerita kehidupan di masa lampau—saat relief itu dibuat, yang
salah satunya bercerita tentang pelbagai kuliner yang berkembang di masa itu—yang
saat ini (sedang dan telah) dikembangkan menjadi wisata gastronomi melengkapi paket
wisata Candi Borobudur.
Kedua, kajian kuliner tempo dulu signifikan untuk
dilakukan guna menggali khazanah kuliner warisan leluhur yang mencerminkan
banyak hal seperti kreativitas, nilai-nilai filosofis, kearifan lokal, strategi
ketahanan pangan, dan sebagainya. Hasil kajiannya bisa menjadi referensi penting untuk
meneguhkan budaya kuliner bangsa yang adiluhung dan pengembangan wisata
gastronomi berbasis sejarah dan local genius (kearifan lokal) sebuah
daerah.
Setelah membaca tandas buku itu, saya lanjut meresensinya dan
tulisan resensi itu dimuat satu halaman penuh di koran Jawa Pos Radar Madura
edisi Minggu, 5 Juni 2020 dengan judul “Kuliner dalam Tradisi Keraton
Kesultanan Cirebon”. Masih belum puas, lalu saya susuli tulisan resensi versi
kedua dan dimuat di media Islam daring Alif ID edisi Minggu, 5 September
2021 dengan judul “Kuliner Etnik Sunda dalam Naskah Kuno dan Tradisi Keraton”.
Peneliti yang Tekun
Setelah bukuberjudul
“Seri Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan
Cirebon” terbit (2019), setahun kemudian pada September 2020, buku
karyanya (yang kedua) kembali terbit. Kali ini berjudul “Seri Gastronomi
Tradisional Sunda: Khazanah Kuliner Kabuyutan Galuh Klasik” yang
diterbitkan oleh penerbit UPI Press. Bukunya lebih tebal lagi dari buku pertamanya.
Bila buku pertama “hanya” 554 halaman, buku keduanya ini mencapai 656 halaman
dengan ukuran buku yang lebih besar.
Tahun 2021, harusnya terbit buku ketiganya, namun—sependek yang
saya tahu, karena persoalan teknis, buku itu baru terbit Maret 2022 oleh
penerbit UPI Press. Amazing-nya, buku ketiganya ini lebih “gila” lagi tebalnya.
Karena terlampau tebal, bahkan penerbit “harus” membaginya menjadi
dua jilid. Judul buku ketiganya adalah “Serial Gastronomi Tradisional Sunda: Khazanah
Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)”. Jilid
pertama setebal 734 halaman dan Jilid 2 setebal 336 halaman. Bila disatukan,
buku itu bertebal lebih dari seribu halaman.
Boleh jadi secara kuantifikasi, karyanya belum banyak. Namun
dari sisi bobot dan kekayaan data di dalam ketiga buku tersebut, sangat menunjukkan
produktivitas, ghirah, dan ketekunan seorang Dr. Riadi Darwis yang sangat
luar biasa. Membaca ketiga buku tersebut,kita seperti diajak menuju ke lorong waktu, masuk ke “masa lalu”,
menyigi pelbagai budaya kuliner dan khazanah kulinernya di zaman itu, secara “detail
dan mendalam”.
Ketiga buku karya Dr. Riadi Darwis memang merupakan hasil
riset dari pelbagai manuskrip dan naskah kuno, sehingga dihasilkan data terkait
kosa kata dan ungkapan kuliner yang terbagi dalam berbagai klaster antara lain
minuman, makanan, teknik kuliner, dan lain sebagainya.
Buku-buku Seri Gastronomi Tradisional Sunda karya Dr. Riadi Darwis yang saya koleksi. (Foto: dokumentasi pribadi)
Termasuk buku terbarunya yang berjudul “Serial Gastronomi
Tradisional Sunda: Khazanah Lalab, Rujak, Sambal, dan Ték-ték (Jilid 1 dan 2)” yang
baru saya terima hari ini (Kamis, 14/07/2022). Saya memang belum membacanya,
tapi dari sekilas daftar isi yang saya baca, buku ini menyigi khazanah lalab—yang
sangat populer dalam budaya kuliner Sunda, rujak, sambal, dan ték-ték dalam berbagai
prasasti masa klasik dan naskah sunda kuno.
Ternyata, sebagaimana ditulis Dr. Riadi Darwis dalam buku terbarunya (Jilid 1), tradisi menyantap lalab di kawasan Pulau Jawa sudah tercatat dalam
sejumlah prasasti. Ditengarai pada abad ke-9 atau ke-10 Masehi, hal tersebut
sudah tercatat.
Saat ini lalaban atau lalapan menjadi budaya kuliner yang
identik dengan masyarakat Sunda. Penelitian Prof. Unus Suriawiria sampai tahun
2000—sebagaimana yang dikutip Prof. Murdijati Gardjito dalam buku Kuliner
Sunda, Nikmat Sedapnya Melegenda (2019) menyebutkan, ditemukan tidak kurang
200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.
Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis ini menghadirkan
data yang lebih banyak lagi. Berdasarkan hasil telusur melalui sejumlah referensi maupun observasi, dalam buku terbarunya (Jilid 2), Dr. Riadi Darwis menyajikan sejumlah 718 jenis tanaman lalab yang hidup dan tumbuh subur di kawasan budaya Sunda.
Buku terbaru 2 jilid karya Dr. Riadi Darwis ini sangat menarik. Saya
sedang “menyiapkan” energi untuk melahap buku tebal yang terbagi dalam dua
jilid ini. Agar bisa menyerap gizi buku tebal—hasil riset mandiri selama 31
tahun—ini secara lebih maksimal. Buku terbaru karya Dr. Riadi Darwis, yang tak berlebihan bila saya sebut sebagai "Sang Gastronom
dari Tatar Sunda".
*Badiatul Muchlisin Asti, Citizen Journalist yang
penikmat (sejarah) kuliner Indonesia.
Mbah Bejo atau bernama asli Heru Hardono dikenal sebagai pemerhati sejarah Grobogan. [Foto: Wahyu K]
Saya mengenal dan kemudian banyak berinteraksi dengan Mbah
Bejo saat saya menahkodai komunitas Grobogan Corner. Mbah Bejo termasuk salah
satu yang kami daulat menjadi penasehat Grobogan Corner.
Eko Supa, seniman lukis karikatur dari Grobogan. [Foto: Wahyu K]
Tubuhnya gemuk. Kalau bicara pelan. Saya bertemu dengannya
saat menghadiri kegiatan Nggambar Bareng
Palipuro di Alun-alun Purwodadi akhir bulan Mei 2022 lalu. Sembari menggoreskan
kuas ke media gambar di depannya, ia meladeni saya berbincang.
Nama lengkapnya Eko Suparyanto, namun di panggung lukis yang
digelutinya, ia populer dengan nama Eko Supa. Pria kelahiran Grobogan, 2 April
1982 ini memang dikenal sebagai seorang pelukis, spesialis karikatur. Bukan sekelas
pelukis temeh-temeh, tapi lukisannya sudah menjelajah dari pameran-pameran
berkelas, lokal, regional, nasional, hingga internasional.
Minatnya di bidang seni lukis sudah sejakdari kecil. Tapi mulai menekuni dunia seni
lukis secara profesional sejal lulus dari SMAPGRI Purwodadi. Ia bertolak ke Jogjakarta untuk belajar seni lukis
secara lebih intens.
Di Kota Gudeg itu, ia belajar seni lukis dari para pelaku
seni rupa di sepanjang Jalan Malioboro. Jogjakarta rupanya membuatnya betah
berlama-lama menimba ilmu dan menekuni dunia seni lukis. Setidaknya tercatat tujuh
tahun ia tinggal di Jogjakarta sejak tahun 2002 hingga 2009.
Di Jogjakarta itulah kemampuan seni lukisnya terasah dengan
baik. Ia ikut pameran demi pameran dan percaya diri menjual lukisannya. Lukisan
pertamanya berupa gambar harimau terjual Rp 750 ribu.
Eko Supa pun semakin mantap menapaki profesi sebagai seorang seniman
lukis. Berbagai aliran seni lukis pernah ia pelajari dan tapaki. Mulai dari aliran
realis, naturalis, ekspresif, impresif, dan lain-lain. Hingga kemudian ia
memantapkan diri cenderung memilih seni lukis gaya karikatur—yaitu seni lukis
yang menggambarkan suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas
objek tersebut.
Pameran Tunggal
Setelah aktif mengikuti sejumlah pameran, Eko Supa menjadi
lebih percaya diri, ia pun menghelat pameran tunggal. Pameran tunggal pertamanya diadakan di Galeri Hadiprana Jakarta tahun 2009
dengan mengusung tema “Orde Batik” yang menggambarkan tokoh-tokoh internasional
dalam busana batik.
Pameran tunggal itu
nampaknya menjadi titik balik bagi Eko Supa untuk menunjukkan reputasinya
sebagai seorang seniman lukis berkelas. Tahun 2010, lukisannya menjadi finalis Jakarta
Art Awards dan Indonesia Art Awards. Tahun-tahun berikutnya secara
beruntun, yaitu tahun 2011, 2012, dan 2015, lukisannya menjadi finalis UOB
Painting of the Year Indonesia, menyisihkan ribuan lukisan yang dikompetisikan.
Lukisan bertajuk "Spirit Selendang" karya Eko Supa
Tahun 2018, lukisannya
bertajuk “Spirit Selendang” termasuk yang dipamerkan dalam Pameran Temporer
Museum Basoeki Abdullah bertema “Spirit Potret”. Pada pameran itu, Eko Supa
bersama sekitar 30 seniman lukis se-Indonesia—yang lukisannya terpilih, diminta
untuk melukiskarya maupun karakter
Basoeki Abdullah dengan eksplorasi sesuai aliran dan imajinasi masing-masing.
Saat itu Eko Supa membuat lukisan karikatur yang
menggambarkan Basoeki Abdullah masuk ke dalam lukisan “Jaka Tarub”—sebuah lukisan
yang pernah dibuat oleh Basoeki Abdullah berdasarkan cerita rakyat tentang Jaka
Tarub dan 7 Bidadari.
Dalam lukisannya, Eko Supa menggambarkan karakter Basoeki
Abdullah yang mengambil selendang bidadari, sehingga karya lukisannya itu
diberi tajuk “Spirit Selendang” dan terpajang di katalog galeri tersebut.
Satu Lukisannya Terjual
Rp 35 Juta
Setelah malang
melintang di Jogjakarta, Eko Supa harus pulang ke kampung halamannya di Kota
Purwodadi. Ia pulang karena harus menunggui ibunya. Namun, hal itu tak membuatnya
lantas vakum dari dunia lukis. Ia tetap produktif. Hingga saat ini, Eko Supa masih terus aktif sebagai pelukis
bebas yang mengolah karakter karikatural tokoh-tokoh dunia.
Apalagi dunia seni
lukis boleh dibilang sudah menyatu dalam hidup dan kehidupannya. Seni lukis menjadi
mata pencahariannya. Sepanjang karir sebagai seniman lukis, Eko Supa
mengaku, satu lukisannya pernah terjual hingga seharga Rp 35 juta.
Menurutnya, itu belum seberapa dibanding pelukis-pelukis lainnya
yang sudah lebih tersohor yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk satu buah
lukisan. Namun ia tetap bersyukur dengan apa yang telah dicapainya hingga seperti
sekarang.
Bulan Desember 2018, ia bersama dua seniman lukis Purwodadi
lainnya, yaitu Didik Budiarto dan Andi Kebo, membidani lahirnya sebuah
komunitas seniman lukis Purwodadi bernama Palipuro yang merupakan kepanjangan
dari “Perkumpulan Pelukis Purwodadi Grobogan”.
Ia berharap, lahirnya komunitas ini menjadikan seniman lukis
Grobogan lebih memiliki pengaruh di kancah seni lukis nasional maupun
internasional, serta memiliki kontribusi bagi citra positif daerah.
Simak video perbincangan saya dengan Eko Supa di rumahnya di daerah Kebondalem, Purwodadi, Grobogan:
Saat rekaman cover lagu "Sesungguhnya" karya Raihan. [Foto: dokumen pribadi]
Akhir tahun 1990-an, saya mulai mengenal lagu-lagu nasyid di
luar Nasida Ria Semarang. Berbagai group nasyid, dalam maupun luar negeri,
mulai saya kenal—dan menjadi genre
lagu yang menjadi hiburan ‘baru’ saya. Snada (Indonesia) dan Raihan (Malaysia)
adalah dua group nasyid yang berhasil ‘mencuri’ hati saya.
Saya pun membeli kaset-kaset album mereka. Namun dibanding
Snada, Raihan adalah group nasyid paling saya gemari yang—boleh dibilang—hampir
semua album yang mereka keluarkan saya
beli, sejak era kaset hingga era CD. Mulai dari album pertama Puji-pujian (1996), Syukur (1998), Senyum
(1999), Demi Masa (2001), Gema Alam (2003), Allahu (2004), dan Ameen
(2005).
Hanya tiga album terakhir yaitu Tawakal (2006), The Spirit of
Shalawat (2008) dan Zikir Theraphy
(2011) saya tidak membelinya. Boleh jadi karena saya merasa kualitas perfoma
Raihan menurun sejak ditinggalkan vokalis utamanya, Nazrey Johani, pada tahun
2006. Tahun 2007, Raihan sempat memiliki vokalis baru bernama Zulfadli Mustaza.
Kendati demikian, saya tetap menyimak perkembangan group
nasyid yang didirikan pada Oktober 1996 dengan formasi personel lengkap: Nazrey
Johani (vokalis), Azhari Ahmad, Abubakar Md. Yatim, Che Amran Idris, dan Amran
Ibrahim.
Dua personel Raihan yaitu Azhari Ahmad meninggal dunia tahun
2001 dan Nazrey Johani, sang vokalis, keluar tahun 2006. Sehingga praktis kini
personel Raihan tinggal tersisa tiga, yaituAbu Bakar, Che Amran, dan Amran Ibrahim. Meski demikian, mereka tetap
eksis meski belum lagi mengeluarkan album atau single terbaru—kecuali
mereproduksi lagu-lagu mereka dengan arrangement
baru.
Raihan formasi lengkap, dari kiri Azhari Ahmad (alm), Che Amran Idris, Nazrey Johani, Amran Ibrahim, dan Abu Bakar Md. Yatim. [Foto: istimewa]
Raihan, Legenda
Nasyid Dunia
Bagi saya, Raihan adalah legenda nasyid dunia yang belum
tertandingi oleh group nasyid manapun hingga sekarang. Kehadirannya, hemat
saya, serupa Rhoma Irama di Indonesia—yang bila Rhoma Irama menjadi legenda
dalam musik dangdut, maka Raihan adalah legenda dalam musik religi—yang
lagu-lagunya tetap asyik dinikmati khalayak sepanjang masa.
Pada masa kejayaannya, lagu-lagu Raihan banyak yang menjadi hits dan kaset maupun CD album mereka
laku keras, termasuk di Indonesia. Tercatat, Raihan pernah mendapatkan double platinum untuk album Demi Masa. Raihan sering diundang untuk
konser di seantero dunia, di antaranya di Hongkong, Kanada, Prancis, Rusia, dan
Inggris. Saat konser di Inggris, Raihan diberikan penghargaan oleh Ratu
Elizabeth II.
Seperti lagu-lagu karya Rhoma Irama, lagu-lagu Raihan juga
tetap enak dinikmati hingga kini. Tema-temanya antara lain tentang akidah,
ibadah, akhlak, sejarah, pendidikan, dan kemanusiaan, dengan syair-syair yang mudah
dipahami serta seni lagu yang asyik dinyanyikan. Sehingga saya pun banyak hafal
lagu-lagu Raihan.
Di antara lagu Raihan yang banyak saya hafal, ada yang
menjadi favorit saya, antara lain: Kita Hamba,
Sesungguhnya, Iman Mutiara, Kabar Iman, Damba Cinta-Mu, Carilah Cinta, dan
sebagainya.
Selain Raihan, juga Snada, banyak group nasyid lainnya yang
saya suka, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Namun, seperti biasanya, saya
tidak begitu memfavoritkan group—dalam arti lebih ke menyukai lagunya yang
asyik didengar dan syair lagunya yang menyentuh hati.
Beberapa group nasyid dari Indonesia yang beberapa lagunya
saya suka antara lain: The Fikr, Tazakka, Edcoustic, Seismic, Shoutul Harakah,
dan Izzatul Islam. Adapun group nasyid dari Malaysia yang beberapa lagunya saya
suka antara lain: Unic, Inteam, Hijaz, Rabbani, dan Saujana.
Pandemi Covid-19 dan
Cover Lagu
Sebagai penikmat lagu, saya tidak pernah menyanyikannya ke
publik, di acara sekecil apapun. Kalau saya menyanyi, itu pun lirih, hanya
untuk kepentingan diri sendiri—di kala sendiri pula hahaha....
Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia, juga Indonesia,
menghentak kita semua—termasuk saya. Jelang Indonesia ditetapkan sebagai
wilayah terpapar Covid-19 dan warganya dinyatakan untuk stay at home, saya masih mengisi sebuah pelatihan menulis di sebuah
hotel.
Jadwal pelatihan 5 hari baru berjalan 2 hari, sehingga 3
hari selanjutnya harus di-cancel dulu
akibat kebijakan stay at home dan
larangan berkerumun—dan kemudian akhirnya diadakan secara daring melalui zoom meeting.
Beberapa bulan di awal pandemi, saya dan seluruh anggota keluarga
(anak saya yang di pesantren juga dipulangkan) benar-benar stay at home. Hal itu membuat banyak waktu luang.
Akhirnya di sela aktivitas membaca, menulis, beribadah, bercengkerama
dengan keluarga, saya bisa menyisihkan aktivitas ‘baru’: yaitu menyanyi di ruang kerja haha.... Dari aktivitas ‘baru’ itulah, atas dorongan seorang kawan, saya
memberanikan diri untuk mengcover lagu.
Kebetulan ada lagu religi yang tengah viral ketika itu dan
saya menyukai lagu tersebut, yaitu lagu berjudul Aisyah, dipopulerkan oleh Mr. Bie. Setelah memantapkan diri bisa
menyanyikannya dengan relatif baik—versi saya tentu saja, maka saya pun
menjadwalkan rekaman di sebuah studio music di Semarang. Saya diantar oleh
seorang teman, namanya Teguh Santoso—dosen sebuah perguruan tinggi swasta di
Ungaran, yang telah terlebih dulu biasa rekaman cover lagu di studio tersebut.
Rekaman itu adalah untuk pertama kalinya saya ke studio,
untuk pertama kalinya saya nyanyi agak serius satu lagu utuh (haha...), dan
untuk pertama kalinya saya rekaman. Awalnya agak ndredeg juga. Take ulang
berkali-kali. Tapi akhirnya, rekaman pertama berjalan sukses, meski saya masih
merasa kurang percaya diri.
Setelah rekaman pertama lagu Aisyah—dengan versi lirik yang sedikit saya gubah (akan saya
ceritakan di tulisan tersendiri, insya Allah),
lalu disusul cover lagu berikutnya, yaitu lagu Bidadari Surga-nya Ustaz Jefri Al-Buchori, lalu Wahai Seorang Kekasih-nya Nazrey Johani, Suci Sekeping Hati-nya Saujana, dan terakhir lagu Sesungguhnya Raihan.
Seiring kehidupan yang mulai (kembali) normal, saya sudah tidak lagi menyisihkan waktu menyanyi, kecuali sekedarnya saja di sela kerja. Namun kelima lagu cover tersebut, bisa ditonton di channel YouTube
saya: Badiatul Muchlisin Asti. Saya
akan senang bila Anda berkenan menontonnya dan meninggalkan jejak di kolom
komentar hahaha....Demikian sedikit cerita tentang saya, lagu, dan cover lagu.
*Badiatul Muchlisin
Asti, Bookpreneur dan Citizen
Jornalist.
Saat rekaman untuk cover lagu Bidadari Surga-nya Ust. Jefri Al-Buchori. [Foto: dokumen pribadi]
Saya akui, sejak kecil saya suka lagu—sekadar sebagai
penikmat. Dan sebagai anak kamso
(kampungan dan ndeso), memori saya
tentang lagu-lagu yang saya sukai sumbernya adalah radio dan televisi (baca:
TVRI) yang memang merupakan sumber utama hiburan ketika itu.
Masa kecil dan remaja saya lakoni pada rentang masa tahun
1980-an dan 1990-an. Soal lagu, saya tidak memfavoritkan genre lagu tertentu. Asal nadanya asyik dan syairnya syahdu—mengena
di hati saya, saya suka. Karena itu, saya punya banyak memori lagu-lagu favorit
secara pribadi lintas genre, baik
dangdut, pop, dan nasyid—yang dulu diwakili oleh Nasida Ria Semarang.
Sampai sekarang, saya masih banyak hafal dan mampu
mendendangkan sebagian besar lagu-lagu dangdut favorit saya—kebanyakan
lagu-lagu yang dibawakan Evi Tamala seperti Lilin-lilin
Putih, Luka di Atas Luka, Sedingin Salju, Selamat Malam, Rembulan Malam,
Senandung Rembulan, Kandas, dan sebagainya.
Harus saya akui, di antara pedangdut yang lagunya banyak
(tidak semua) saya favoritkan adalah Evi Tamala. Sedang pedangdut lain hanya
lagu-lagu tertentu saja seperti Ine Sinthya saya suka lagunya yang berjudul Memori Daun Pisang dan Prasangka; Ikke Nurjanah Cinta dan Dilema;Cici Paramida Wulan Merindu; dan sebagainya.
Untuk pedangdut pria, Rhoma Irama-lah yang harus saya sebut.
Pasalnya, saat saya kecil, dua orang kakak sepupu saya yang tinggalnya sebelah
rumah, sangat menyukai lagu-lagu Rhoma Irama. Kata mereka kepada saya ketika itu, ibarat
pepatah “tidak ada rotan, akar pun jadi”— lagu-lagu Rhoma Irama adalah rotan,
dan lagu-lagu penyanyi lainnya adalah akar. Begitulah mereka mengibaratkan
posisi Rhoma di hati mereka dibanding pedangdut lainnya.
Meski demikian, sebagaimana penyanyi lainnya, tak semua
lagu-lagu Rhoma saya suka. Hanya beberapa lagu saja seperti Raib, Tabir Kepalsuan,Pertemuan, dan Bahtera Cinta. Saya memang cenderung menyukai lagu-lagu bertema roman.
Lagu Pop, Sejak Tito
Sumarsono Hingga Poppy Mercury
Sebagaimana dangdut, saya juga tidak fanatik pada penyanyi
pop tertentu. Saya menyukai lagunya—yang nada dan syairnya pas meresap di hati
saya. Makanya, saya punya memori lagu-lagu tertentu yang saya suka dari banyak
lagu pop lawas yang populer ketika itu.
Saya hafal dan suka lagu-lagu seperti Di Puncak Bukit Hijau-nya Jayanthi Mandasari; Maria-nya Julius Sitanggang; Kisah
Kasih di Sekolah-Nya Obbie Messakh; bahkan hafal trilogi lagu Hati yang Luka karangan Obbi Messakh
meliputi Hati yang Luka (dinyanyikan Betharia
Sonata), Penyesalan (jawaban untuk
lagu Hati yang Luka, dinyanyikan
Obbie Mesakh sendiri) danTiada Duka Lagi (dinyanyikan duet
Betharia Sonata dan Obbie Mesakh).
Selain itu ada lagu-lagu yang populer setelahnya yang saya
suka antara lain: Aku Sayang Kamu-nya
Cindy Claudia Harahap; Cintaku Tak
Terbatas Waktu-nya Annie Carera, dan Kasih-nya
Ismi Aziz. Lalu, lagu-lagu yang didendangkan Poppy Mercuri seperti Pelangi Cinta, Tragedi Antara Kuala Lumpur –
Penang,Antara Jakarta dan Penang, Surat
Undangan, Hati yang Luka, Terlambat Sudah, dan lainya.
Lagu-lagu pop lainnya yang saya suka: Untukmu dan Tuhan Tolonglah-nya
Tito Sumarsono, Dinda di Mana-nya
Katon Bagaskara, dan Sanggupkah Aku-nya
Andy Liany. Untuk lagu-lagu yang dibawakan group musik, favorit saya antara
lain: Kangen-nya Dewa 19, Tataplah-nya Cool Colour, Bukan Pujangga-nya Base Jam, Yogyakarta-nya Kla Project, Cerita Cinta-nya Kahitna, Mungkinkah dan Cinta Suci-nya Stinky, dan lain sebagainya.
Nasida Ria, Kenangan
Bersama Bapak
Nasida Ria, group kasidah legendaris dari Semarang. [Foto: istimewa]
Adapun lagu-lagu nasyid--tepatnya kasidah, tak banyak ketika itu. Yang saya
kenal hanya Nasida Ria Semarang yang sangat populer di masa kecil saya. Bapak
saya yang secara tidak sengaja memperkenalkannya. Di rumah, bapak sering
memutar lagu-lagu Nasida Ria dari radio tape yang beliau punya.
Dari situlah, saat bapak memutar kaset Nasida Ria, mau tak
mau, saya ikut mendengarkannya dan sebagian secara tak sadar saya hafal
liriknya. Lagu-lagu Nasida Ria seperti Jilbab
Putih, Tahun 2000, Kota Santri, Perdamaian, dan lain-lain, sangat akrab di
telinga saya dan sangat memorable.
Lagu-lagu Nasida Ria
tak melulu religi, tapi juga ada yang bertema roman cinta, di antaranya yang sangat
saya hafal ketika itu adalah sebuah lagu berjudul Tergila-gila, penggalan syairnya sebagai berikut:
Seindah-indah bulan purnama, lebih indah wajahnya
Semanis-manisnya madu, lebih manis senyumnya
Duh aduh aku tak tahan, kala ia memandangku
Hati rasa begetar, berdenyut-denyut jantungku
Dia tersenyum mesra, dengan ramah menyapaku
Bingung bingung, aku bingung, tersipu malu
Boleh dikata, ketika itu, Nasida Ria merupakan satu-satunya
group musik religi yang paling masyhur. Sebagai anak yang lahir dari keluarga dengan
iklim religius, mau tidak mau, saya mengenal lagu-lagu Nasida Ria yang hingga
saat ini masih direproduksi juga dicover oleh banyak group-group musik religi.
Ketika itu, lagu-lagu religi dari Nasida Ria banyak diputar
saat pesta hajatan warga, terutama di perdesaan, antara lain di acara mantenan
atau walimatul ‘ursy. Syahdunya
ketika itu....
Menggemari Nasyid
Tahun-tahun terakhir di pengujung tahun 1990-an, saya mulai
menyukai lagu-lagu religi atau nasyid dengan tema religi yang lebih kental yang booming ketika itu, baik di Indonesia
maupun di Malaysia. Genre nasyid
inilah yang sangat membekas di hati saya, yang berpuluh tahun kemudian ketika pageblug
Covid-19 mengguncang dunia dan masyarakat harus stay at home, saya merasa perlu ada hiburan, salah satunya
menyalurkan “hobi terpendam” saya, yaitu: menyanyi.
Lagu nasyid yang saya pilih. Kenapa saya memilih nasyid? Apa
dan bagaimana saya kemudian “memberanikan diri” mengcover lagu nasyid? Simak di
tulisan berikutnya ya. (Bersambung).
*Badiatul Muchlisin Asti, Bookpreneur dan Citizen Journalist
Ustaz Riyanto, PAZtrooper yang membuka layanan penyembuhan dengan metode PAZ Al Kasaw. [Foto: Wahyu K]
Rumah Sehat Thakza beralamat di Dusun Keliling RT 01 RW III,
Kelurahan Kunden, Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Lokasinya persis di seberang lapangan Bantolo Sakti. Rumah Sehat Takzha
dikelola oleh Ustaz Riyanto—saya biasa memanggilnya Riyanto saja, seorang praktisi
thibbun nabawi yang juga seorang ustaz (guru) di SDIT Ar-Risalah
Wirosari.
Secara pribadi, saya sudah lama mengenal pengelola Rumah
Sehat Takzha itu. Akhir tahun 1999, ketika saya mendirikan Forum Remaja Madani
(Formad)—sebuah wadah dakwah dan pemberdayaan remaja muslim di Kecamatan Wirosari
dan sekitarnya, Riyanto adalah salah satu anggota aktif.
Saat itu Riyanto masih seorang pelajar SMA, yaitu di SMA Al-Islam
Wirosari. Riyanto aktif juga di majlis taklim remaja yang saya asuh, yaitu di
Kelompok Kerja Majlis Taklim (KKMT) Formad yang anggotanya adalah para pelajar
SMP dan SMA dari lintas sekolah di Kecamatan Wirosari dan sekitarnya.
Saya tidak lagi mengasuh KKMT Formad saat saya harus ‘hijrah’
ke kecamatan lain karena menikah pada tahun 2003. Tapi saya masih sering kontak
dengan Riyanto, namun jarang ketemu. Sampai kemudian ia kuliah dan kemudian
mengajar di sebuah SDIT di Wirosari sampai sekarang.
Bahkan saya ketahui, ia juga menjadi seorang praktisi thibbun nabawi, di antaranya membuka
layanan penyembuhan melalui bekam (al-hijamah),
selain juga seorang pelatih Taekwondo.
Menjadi PAZtrooper
Perkembangan terkini, Riyanto juga ikut pelatihan sebuah
metode pengobatan yang ditemukan oleh Ustaz Haris Moejahid rahimahullah, yang saat ini sedang populer-populernya, yaitu
Pengobatan Akhir Zaman (PAZ) Al-Kasaw. Dan saat ini Riyanto membuka layanan
penyembuhan melalui metode tersebut di rumahnya yang sekaligus dijadikan tempat
‘klinik’-nya—yang ia sebut dengan Rumah Sehat Thakza.
Saya sudah beberapa kali silaturahmi ke ‘klinik’-nya, bahkan
telah melihat bagaimana Riyanto menerapi ‘pasien’-nya dengan bekam maupun
dengan metode PAZ Al-Kasaw. Bahkan saya sendiri sudah merasakan dibekam dan
diterapi dengan metode PAZ oleh Riyanto.
Ustaz Riyanto saat menerapi saya dengan metode PAZ Al-Kasaw. [Foto: Wahyu K]
PAZ Al-Kasaw sendiri adalah terapi
atau metode pengobatan berbasis perbaikan rangka tubuh manusia yang ditemukan
oleh Allahu yarham Ustadz Haris Moejahid,
alumni Technische Universiteit Delft jurusan Aeronoutical Enginering
(spesialisasi struktur dan rangka pesawat terbang), Belanda.
Bentuk pengobatannya melalui
berbagai gerakan dalam rangka memperbaiki rangka tubuh yang menjadi sumber
keluhan pelbagai penyakit—yang bisa dipelajari oleh siapapun. Hingga saat ini
lebih dari 12 ribu orang yang sudah mempelajari metode penyembuhan ini dan
telah banyak masyarakat yang terbantu penyembuhan atas penyakit yang diderita melalui
wasilah terapi ini, biiznillah.
Sehingga boleh dibilang, PAZ Al
Kasaw ini merupakan ikhtiar agar setiap muslim bisa memiliki ketrampilan
menyelesaikan aneka penyakit dengan cara-cara yang sederhana, praktis, bisa
diterapkan kapan saja dan di mana saja, hasilnya cepat, tanpa butuh alat
khusus, serta tanpa jimat, tanpa rapalan mantra, dan bebas dari kesyirikan.
Slogan PAZ Al-Kasaw adalah tanpa operasi, tanpa obat, tanpa alat, dan tanpa jimat.
Bagi saudara-saudara kamu muslimin di
manapun berada yang membutuhkan infomasi tentang PAZ Al-Kasaw, baik karena
ingin mencari wasilah kesembuhan
maupun karena tertarik mendalami ilmu PAZ, bisa mengunjungi website resmi PAZ
Al-Kasaw, yakni di: https://pazindonesia.com/
Atau yang berada di Kecamatan
Wirosari, Kabupaten Grobogan dan sekitarnya bisa menghubungi Rumah Sehat Thakza
yang beralamat di Dusun Keliling RT 01 RW III, Kelurahan Kunden,
Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Nomor WhatsApp: 085292727070
Tonton video kami tentang Pengobatan Akhir Zaman (PAZ)
Al-Kasaw di Rumah Sehat Thakza Wirosari:
*Badiatul Muchlisin
Asti, Citizen Journalist & Peminat Kajian Thibbun Nabawi